Menyikapi Suami Vs Hobi Pribadinya, Tanpa Harus Melarang
Apa yang ada di pikiran para istri ketika melihat sang suami, sepulang kerja tetapi hanya asyik dengan dunianya sendiri? Seolah-olah waktu yang ia pakai untuk bekerja sudah selayaknya diganti dengan 'me time' versi pribadi. Apalagi jika sang istri tengah kerepotan sendiri. Sepertinya jika sudah kelewat batas, istri mana yang tak akan mengeluarkan jurus omelan atau ngambek pada suami? :D
Aku percaya, tak ada istri yang bermaksud semena-mena, dan dengan tega memutus kesenangan suaminya.
Tak ada pula istri yang tak ingin melihat suaminya bersenang-senang, terlebih jika itu memang sesuatu hal yang disenangi oleh sang suami.
Setiap orang memiliki kesenangan sendiri, setiap pasangan juga punya definisi 'me time' tersendiri.
Ada yang bisa menyatukan ritme untuk mengisi kualitas waktu bersama, ketimbang sibuk sendiri-sendiri.
Tetapi juga tak sedikit orang, yang lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri dengan menggeluti minatnya. Bagi para suami, ada yang memilih bersepeda di alam. Ada yang memilih memancing ikan, sembari bercengkrama dengan teman-teman duduk sejejernya. Ada yang lebih senang menanam, dan merawat tanaman. Ada pula yang tertarik dengan game online dari layar gadget miliknya.
Beberapa dari yang kusebutkan tentu hanya segelintir kecil dari hobby para bapak-bapak berstatus suami. Mungkin di luar sana ada yang lebih ekstrem lagi, atau bahkan di luar dari kebiasaan suami pada umumnya.
Tapi apapun itu, tentu akan menyenangkan jika selagi suami atau istri melakoni hobby.. tetapi juga tak ada kewajiban yang harus terbengkalai karenanya. Apalagi sampai menyusahkan keluarga, mengabaikan peran inti di dalam rumah. Sampai pada lupa waktu, hingga menyebabkan friksi antara suami maupun istri.
Beberapa waktu lalu, ada seseorang yang bercerita perihal suaminya yang baru saja membeli alat eletronik berupa pengeras suara. Menurutnya, membiarkan sang suami melakoni hobby yang senang berkaraoke bukanlah masalah besar. Terlebih lagi, tentu saja menyediakan alatnya di rumah jauh lebih ramah ketimbang harus ke tempat karaoke, dan membayar tarif setiap kali berkunjung.
Aku sepakat. Sebab suamiku sendiri memiliki hobby-nya yang bermacam-macam.
Aku juga tak pernah melarang pasanganku melakoni hobby yang disenangi selama masih di batas wajar, tak lupa waktu, apalagi sampai mengabaikan keluarga sebab sibuk dengan urusan sendiri.
Meski tentu, ada saat di mana friksi itu hadir. Terutama kondisi yang kuhadapi berbeda jauh dari sosok yang bercerita soal suami yang menyenangi berkaraoke.
Aku yang sejak bangun tidur, ke tidur, bahkan sampai bangun lagi.. segala urusan domestik keluarga, rumah, hingga pada kebutuhan anak-anak, dan suami, harus ditangani sendiri. Tak jarang, ada fase kelelahan. Fase jenuh. Atau ketika sedang repot-repotnya menangani batita sedang pekerjaan lain belum terselesaikan, tatkala berharap beroleh bantuan, tetapi suami yang dimintai tolong tak kunjung datang sebab teralihkan dengan kesenangan pribadinya. Wajar untuk merasa kesal, bukan?
Sama seperti ibuku dulu, yang tak pernah mempermasalahkan hobby apa saja yang dilakoni bapak.
Tetapi akan berbeda dengan laki-laki yang memahami porsi kesenangan pribadi, dan mampu membagi waktu selebihnya untuk tetap fokus membantu istri.
Jadi, kalau dikata ada istri yang kesannya "kebangetan" karena seperti melarang sang suami melakoni hobby pribadi.. menurutku, itu tak bisa menjadi patokan seperti apa sang istri di dalam rumah tangganya.
Kita tentu tak bisa menjudge kehidupan rumah tangga orang lain, hanya karena tak tampak semudah apa yang kita lakoni. Ranahnya berbeda, konteks keadaan yang dihadapi juga berbeda, tantangannya berbeda, problem permasalahan yang hadir juga tak sama, bahkan watak pasangan masing-masing pun jelas tak mungkin serupa. Ada banyak hal yang tak bisa kita nilai mutlak sebatas dari apa yang kita tahu 'kelihatannya' dari luar.
Toh, bukan kita yang tahu persis apa permasalahan seseorang tatkala berhadapan dengan pasangan yang senang menikmati waktu sendiri sembari mengerjakan hobby tsb.
Kadang pula begitu dilematis.
Jika tetap memilih diam, iya kalau pasangannya peka, dan mau sama-sama saling memahami.. jadi tak perlu ada adegan misuh-misuh ke pasangan yang tentu akan menyebabkan salah paham bagi orang yang kebetulah melihat/mendengar, tanpa tahu duduk perkara sebenarnya.
Akan tetapi ketika terlalu sering protes sekadar menyampaikan rasa keberatan, kita mungkin saja dinilai sebagai istri/suami yang kurang pro mendukung kesenangan pasangannya. Padahal, itu karena tak semua pasangan memahami hal dasar bahwa bekerja adalah kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sedang hobby adalah kebutuhan tiap individu yang jika dibilang tak penting, sebenarnya penting, dan tetap memerlukan pemenuhan agar dapat tersalurkan. Akan tetapi, tak ada salahnya segala sesuatunya sudah dikomunikasikan terlebih dahulu, dan sesuai porsi semestinya. Tidak ada berlebihan.
Aku sepakat, hidup terlalu kaku itu 'big no'. Sampai tak tahu cara bersenang-senang.
Tak masalah kok mengerjakan apa yang disenangi, asal... segala sesuatu tetap pada porsinya. Tak melanggar batasan. Tak ada yang didominankan, sekalipun itu kita rasa penting sebagai kunci kepuasan atau pun kebahagiaan diri.
Karena siapapun mafhum, kehidupan personal seseorang akan banyak berubah tatkala memutuskan untuk menikah, dan berkomitmen membangun sebuah keluarga dalam biduk rumah tangga.
Setelah menikah, ini bukan lagi tentang kesenangan siapa yang harus diutamakan. Bukan pula tentang hobby siapa yang jauh lebih penting, dan bermanfaat. Tak ada lagi ke'aku'an melainkan bagaimana 'kita'. Sekalipun setiap kita memiliki versi kesenangan masing-masing, cara yang berbeda, dan penilaian yang tak sama dalam menyikapi apa-apa yang disenangi diri maupun apa yang orang lain senangi.
Namun yang pasti, setelah menikah, penting untuk menghadirkan komunikasi asertif bersama anggota lain yang hidup seatap bersama kita. Agar tak menimbulkan kesalahpahaman, pertengkaran, sampai pada perpecahan antara anggota keluarga.
Boleh kok punya hobby, tapi tak ada salahnya komunikasikan dulu ke pasangan. Agar tercapai kebaikan, kesepakatan bersama, tanpa menyenggol hak yang lain.
Bicarakan bagaimana baiknya, seperti apa mestinya.. terlebih lagi jika sekiranya hobby yang dilakoni akan menguras waktu, tenaga, biaya, dan pikiran. Perlu untuk mendiskusikan hal itu pada pasangan. Agar hobby dapat terus berjalan, saling memberikan pengertian, tanpa harus mengorbankan hal lain, dan menjadi penyebab muncul permasalahan baru yang tak diinginkan.
Contohnya, aku pribadi. Bagiku menulis bukan hanya hobby yang tentu saja menghasilkan, tetapi pula kebutuhan. Dari menulis, aku memperoleh kebahagiaan, kepuasan, kelegaan yang mungkin tak dipahami oleh suami yang tak berkutat dengan dunia tulis menulis. Tetapi ketika mendapati waktuku nyaris terforsir untuk fokus pada keluarga, aku menyampaikan kendalaku pada pasangan sekaligus meminta solusi untuk kebaikan bersama. Hal apa yang harus kami lakukan agar kebutuhan sekaligus pekerjaan menulisku bisa tetap terlaksana tanpa harus mengenyampingkan peran inti sebagai ibu sekaligus istri di rumah?
Juga, tanpa perlu merasa kewalahan sendiri karena disamping harus mempersiapkan ide sebelum duduk menulis, dua tanganku tentu saja sudah dikerahkan untuk mengerja berbagai pekerjaan rumah tangga yang seakan tak ada habis-habisnya.
Karenanya, kerja sama antar suami-istri menjadi begitu penting. Saling berbagi porsi kesenangan, saling berbagi porsi kebahagiaan, mengurut penat bersama, menyokong beban bersama, menyelesaikan pekerjaan bersama-sama.. karena yang sedang kita bangun adalah keluarga, sebuah rumah yang seharusnya menjadi tujuan pulang ternyaman bagi para penghuninya. Sebuah hunian tak hanya bagi raga, melainkan pula jiwa. Tak sekadar pulang, beristirahat, bangun di pagi hari, lantas mengulang ritme yang sama.
Hingga lupa bagaimana cara bersenang-senang, dan membagi kesenangan bersama. Kita tentu tak ingin membangun keluarga yang kaku, tanpa gelak canda di dalamnya, 'kan?
Alih-alih saling rundung, mengapa tak saling mendukung? :)
Memang, terkesan tak menyenangkan atau kaku sekali jika kita secara kebetulan pernah melihat atau mungkin mendengar ada suami/istri yang 'seolah' melarang pasangannya untuk melakoni hobby..
Tapi setelah melaluinya sendiri, aku mengambil sudut pandang sebaliknya.. kita tak tahu struggle macam apa yang ada di keluarga lain. Apa larangan itu berbentuk ketidaksukaan mutlak, atau hanya sikap keberatan yang ditunjukkan. Sebab ada tipe pasangan yang ketika diberi kesempatan, justru lupa diri, lupa waktu, bahkan lupa keluarga.
Sekali lagi, tak ada yang salah jika setelah menikah.. masing-masing kita tetap menjaga hobby yang disenangi. Agar segala sesuatunya terus berjalan seimbang, ada ketawazunan di dalam kehidupan rumah tangga yang tentu akan menjadi pintu kebahagiaan bagi para anggota keluarga di dalamnya.
Hobby bahkan digaung-gaungkan sebagai bentuk kepedulian sekaligus self love terhadap diri. Sebutlah reward yang kita hadiahi terhadap diri sendiri.
Siapa pula yang tak mau? Seusai penat beraktivitas, kemudian kita diberi waktu untuk menikmati kesenangan yang diminati ... bahkan disuguhi senyuman pasangan yang juga turut duduk di sisi, entah dengan hobby serupa atau pun tidak, tapi tak sama sekali memenggal kehadiran antara satu sama lain. Tak pula memutus komunikasi antara satu dengan lainnya, tersebab asyik dengan dunia masing-masing.
Jadi kuncinya ada pada komunikasi dengan pasangan, tawazun dalam mengerjakan segala sesuatunya. Sebab kesepakatan pun didapat setelah dikomunikasikan. Agar kesenangan kita tercatat sebagai kebaikan yang berbuah pahala. Agar terhimpun kebahagiaan tak hanya bagi satu pihak saja, melainkan semua pihak. Masyaa Allah tabarakallah...
Teruntuk suami yang berbahagia dengan hobby yang digandrungi, tak masalah, dirimu berhak akan itu... aku sendiri memiliki versi bahagiaku sendiri, tanpa menuntut dimengerti atau pun pemakluman. Selama tetap saling menjaga, saling dukung, entah kesenangan itu sesuatu hal yang dikerjakan sendiri atau dapat dinikmati bersama, semoga landasannya tetap lillahi ta'ala, dan senantiasa dalam koridor syariat-Nya ...
Allah tak melarang kita bersenang-senang, menikmati hidup, setelah berbagai peran beserta amanah yang diemban terselesaikan.. asalkan tetap tawazun. Seimbang dalam segala sesuatunya.
Yukk bahagia, dan saling membahagiakan :)
Bismillah biidznillah..
___________________________
Magelang, 8 Mei 2022
copyright : www.bianglalahijrah.com
1 Komentar
Bener mba, sebenernya kunci dari menerima hobi pasangan itu, saling memahami, dan toleransi. Aku dan suami punya hobi beda. Aku sukanya traveling, sementara dia suka tenis meja. Itu kalo udah main pingpong Ama komunitas nya bisa sampe malam bangettt. Tapi memang hanya di hari tertentu.
BalasHapusAwalnya sebel, cuma kalo dipikir, toh itu olahraga, ada bagusnya juga biar suami ttp gerak badannya. Lagian akhirnya setelah ngomong, dia tetep janji kalo pas asisten2 sedang mudik, dia ga bakal sesering hari biasa utk pingpong. Bakal bantu aku jaga anak2 juga.
Dan dia juga mau Nerima hobiku yg traveling Krn ngerti kalo aku butuh itu utk ttp waras. Toh kalo istri nya waras dan bahagia, keadaan rumah juga bakal happy dan adem ayem 🤣
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)