Motivasi Diri Menjadi Orangtua Shalih, Sebelum Mengharapkan Anak Shalih
Beberapa hari yang lalu, ketika tengah sibuk meracik bahan masakan.. Aidan mendekat untuk menawarkan bantuan. Memang sudah sering setiap kali melihat ibunya repot, si kakak berinisiatif ingin membantu. Walau terkadang aku sendirilah yang merasa keberatan. Terasa pekerjaan jadi lebih ekstra, karena harus merapikan hasil pekerjaan si anak TK yang sebentar lagi resmi menjadi murid kelas satu Sekolah Dasar.
Sebenarnya, ada itikad baik untuk membantu saja sudah nilai plus tersendiri. Apalagi tak semua anak laki-laki memiliki kepekaan untuk ringan membantu pekerjaan rumah tangga, kecuali jika sudah dibiasakan sejak dini.
Tapi pagi itu, topik pembicaraan kami cukup dalam, dan serius. Aidan dengan suara lemah, tatapan mata yang lebih sendu.. menatap ke arahku yang fokus pada bahan masakan yang tengah dipotong pada talenan.
"Nanti kalau Aidan sudah besar, ibuk sama ayah juga tambah tua, ya?"
Aku berhenti sejenak, menatap wajah anak yang tepat sehari sebelum Idul Fitri tahun ini genap berusia tujuh tahun.
"Aidan nggak mau ibuk, dan ayah jadi tua. Aidan nggak mau berpisah dari ibuk sama ayah.."
Speechless...
Aku sampai terhenti dengan pekerjaan di tangan. Mengapa Aidan tiba-tiba berpikir sejauh itu?
Tapi tatkala menatap dua matanya yang berkaca, bocah tujuh tahunku sungguh memiliki hati yang lembut.
Ibuk jadi ikut terenyuh...
"Mas, setiap orang akan mengalami hal itu. Ibuk sama ayah juga. Anak-anak suatu hari akan bertumbuh dewasa, yang muda akan menjadi tua, karena itu ibuk mau Mas Aidan jadi anak yang shalih.."
"Kenapa, Buk?"
"Ya, karena doa anak yang shalih adalah tabungan bagi ibuk maupun ayah sampai kelak di akhirat. Kalau Mas Aidan jadi anak yang sholih, bisa mendoakan ibuk dan ayah sampai seterusnya insyaa Allah.."
"Mas Aidan jadi anak yang shalih nggih, adek juga. Sekolah yang pintar, rajin ngajinya. Ibuk selalu mendoakan anak-anak ibuk.. supaya berhasil, sukses, selamat di dunia maupun akhiratnya. Jadi orang yang berilmu, paham agama, sebaik-baik insan kamil." Lanjutku kembali.
Aidan mengangguk. Entah ia sepenuhnya paham, atau berusaha mencerna ucapanku.
Sembari memasak, obrolan kami terus berlanjut ke hal lain. Aidan masih menawarkan diri untuk turut serta mengiris bawang yang sebenarnya sudah tidak diperlukan.
Tapi betapa pertanyaan bocah tujuh tahun ini menyentil relung hatiku.
Ketika Aidan berpikir bahwa tatkala orangtuanya menua sewaktu ia bertumbuh dewasa, maka entah kapan masanya, ada saat di mana kami akan berpisah raga.
Siapkah? Tak ada yang tahu sejauh apa rentang usia yang tersisa. Selama apa jatah hidup di dunia. Sejauh apa perjalanan memintal bekal demi kehidupan yang kekal di akhirat sana.
Lebih dari itu.. sebuah renungan, cubitan, seperti mematut diri pagi hari itu.
Sudahkah melayakkan diri dalam menjadi orangtua yang saleh, sebelum mengharap anak-anak yang saleh?
Sudahkah melipatgandakan amal saleh, sebelum bersantai leyeh-leyeh?
Sudahkah menunaikan hak-hak Allah, hak-hak sesama hamba, sebelum berharap tertunaikan segala hak diri di dunia maupun nanti di akhirat?
Sudahkah memperbaiki kualitas diri, iman maupun takwa di jiwa, ketika hati masih jua condong pada kesenangan yang fana?
Sudahkah tertunaikan hak-hak anak yang Allah amanahkan, sebelum kelak menuntut hak sebagai orangtua tertunaikan? Karena tak sedikit orangtua yang mengeluh telah didurhakai oleh anak-anaknya, sedang dirinya sendiri yang sejak awal mendurhakai anak-anaknya. Mengabaikan hak anak-anaknya. Pun tak jua menunaikan hak-hak anak yang menjadi amanah dari-Nya.
Apa peran diri untuk menjadikan anak-anak shalih, dan mushlih?
Apa peran diri dalam menghantarkan anak-anak menjadi generasi Rabbani yang insan kamil?
Apa peran diri tatkala mengharap anak-anak tumbuh sebagaimana apa yang dikehendaki?
Ya Rabb ...
Bahkan jika hendak diuraikan pun, betapa banyak PR diri sebagai orangtua yang mesti tertunaikan.
Betapa menjadi orangtua juga adalah pembelajar yang tengah belajar. Tak serta merta tatkala menjadi orangtua maka telah otomatis menjadi pendidik yang mumpuni. Nyatanya, semua dimulai dari titik ketidakpahaman, dibentuk dari pembelajaran berbalut kesalahan, kemudian bertumbuh berdasarkan pengalaman-pengalaman yang terbentuk seiring waktu menyandang peran selaku orangtua.
Ketika kita mengharapkan Allah hadirkan anak di kehidupan kita, kitalah yang meminta pada Allah. Anak-anak yang kemudian terlahir, bahkan tak bisa memilih keluarga mana, orangtua mana, dengan cara apa ia terlahir. Kitalah yang meminta kemurahan Allah.. rabbi habli minash shalihin.
Maka, tatkala Allah telah berikan amanah anak. Merawat, mendidik, membesarkan, menunaikan hak-hak anak merupakan kewajiban orangtua sebagai bentuk rasa syukur. Betapa berterima kasihnya kita kepada Rabb yang mengamanahi kehadiran anak-anak sebagai penyejuk mata, penyenang hati, penghilang gundah, investasi dunia akhirat kita.
Sekaligus pengingat yang mendalam sekali, untuk terus belajar. Untuk semakin giat memperbaiki diri. Tak patah semangat, tak berkecil hati, kendati masih berkekurangan di sana-sini. Sekalipun parenting yang dimiliki barangkali tak sehebat apa yang orangtua lain miliki. Sekalipun ilmu yang dipunya bahkan belumlah seberapa.
Semoga...
Allah mampukan kita dalam mendidik jundi-jundi pemberian-Nya.. agar kelak kita dimudahkan pula tatkala dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya.
Anakmu, dengan cara apa engkau menafkahinya? Dengan harta yang halal kah, atau sebaliknya?
Anakmu, sudahkah engkau tunaikan hak-haknya? Beroleh ayah/ibu yang shalih, diberikan nama yang mengandung makna baik, diajarkan Al-Qur'an padanya..
Anakmu, didikan seperti apa yang engkau berikan padanya? Sebab apa yang ia peroleh dari keluarga, yang menjadi lingkup tumbuh kembangnya pertama kali, sebagian besar akan membentuk karakter maupun jati dirinya kelak..
Semoga...
Allah jadikan pula anak-anak kita mudah dalam dididik.
Betapa keshalihan orangtua juga memiliki pengaruh besar pada keshalihan anak-anaknya. Bagaimana mungkin ketika mendamba anak-anak yang saleh, tetapi kita sendiri belum memiliki kualitas kesalehan tersebut? Karenanya, penting untuk terus memotivasi diri dalam menjadi orangtua yang shalih sebelum mengharapkan anak shalih.
Sebab orangtua adalah teladan utama bagi anak-anaknya, kitalah yang mereka gugu dan tiru. Kita pula yang menginstall baik-buruk yang kemudian anak-anak serap dari mendengar, melihat, bahkan meniru hal tersebut dari kedua orangtuanya.
Anak-anak tak serta merta menjadi saleh sesuai kehendak kita, tetapi orangtua yang saleh tak mustahil menghasilkan anak-anak yang saleh pula, minimal dapat menjadi jembatan yang kemudian menghantarkan anak-anaknya dalam menjadi insan kamil di muka bumi. Aamiin insyaa Allah.
Bismillah biidznillah
Terima kasih Aidan, sudah menginspirasi ibuk untuk menuliskan ini. Agar menjadi pengingat baik senantiasa, dan bermanfaat bagi yang membacanya.
Masyaa Allah tabarakallah..
_________________________
Magelang, 10 Mei 2022
copyright : www.bianglalahijrah.com
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)