Memeluk Luka Sebagai Guru Berharga
"... setiap orang menciptakan ruang bawah tanah di hati mereka. Dan di ruang bawah tanah itu, mereka menyembunyikan rahasia mereka. Hal-hal yang tidak diketahui orang lain. Jadi, apa yang kamu sembunyikan di ruang bawah tanahmu? ..."
Pertanyaan dari Ji Young-won selaku psikiater di salah satu sesi konselingnya bersama sang pasien, Han Woo-Joo yang menderita Borderline Personality Disorder atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Gangguan Kepribadian Ambang.
Ketika mengikuti episode drama Korea ini, aku seperti melihat potret diriku sendiri pada sosok Han Woo-Joo. Bagaimana kami bereaksi lebih ketika menyikapi penolakan. Kesulitan dalam regulasi emosi. Sampai pada (pernah) sama-sama melakukan self harm untuk mengalihkan rasa sakit di hati. Sayangnya, rasa sakit itu terus ada. Kami membawanya hingga dewasa.
Juga pertanyaan-pertanyaan yang kerap hadir.. apakah kami memang terlahir seperti ini, atau sesuatu hal terjadi selama fase tumbuh kembang kami, hal-hal yang telah membuat kami bertumbuh seperti ini?
Speechless ketika pada akhirnya berhasil menamatkan drakor yang berjudul Fix You, dan di ending.. Han Woo-Joo tampak tengah menemui sosok anak kecil dalam dirinya yang mulai ia kasihi pada akhirnya.
Persis aku beberapa bulan yang lalu, ketika mulai melalui tahap self healing dan menemui sosok anak kecil yang terluka di dalam diriku selama ini.
Pada titik itu aku mulai sadar, bahwa ternyata selama nyaris 27 tahun ini (sejak lahir hingga bertumbuh dewasa) aku hanya terlalu sibuk menjadi orang dewasa yang berpura-pura hidup normal. Mati-matian menunjukkan ke setiap orang bahwa hidup yang dijalani sama utuhnya seperti mereka. Padahal, ada banyak titik jatuh. Kesedihan. Airmata. Kekecewaan. Kepedihan. Trauma yang bahkan tak pernah betul-betul pulih.
Semua rasa sakit yang selama ini muncul dalam berbagai emosi, tetapi tak benar-benar aku temui dengan keberanian.. yang terjadi justru, aku buru-buru mendistraksi seluruh perasaan itu, emosi-emosi tersebut, tanpa lebih dulu menerimanya kemudian memahami apa pesannya.
Jadi, di moment Woo-Joo menemui anak kecil dalam dirinya, aku ikut menangis di pagi hari, sesenggukan sendiri. Itu moment di mana kami mulai berdamai dengan diri sendiri, moment ketika menemui si anak kecil ini dengan merangkul sosoknya sepenuh hati.
Aku pun ikut memeluk mereka di dalam diriku, berterima kasih pada "aku kecil", "aku remaja", yang luar biasa sekali sebab mampu bertahan hingga sejauh ini.
Tak lupa meminta maaf atas kelalaian yang kulakukan sendiri terhadap diriku, karena butuh waktu 27 tahun hidup untuk berani menemui seluruh luka-luka itu. Padahal, semakin denial maka semakin sakit kondisi luka itu. Merasa telah melupakan, tetapi hanya termanifestasi sekian lama, menunggu waktu untuk meledak dengan sendirinya.
Jika sebelumnya aku menggantungkan kebahagiaanku di luar diri, kali ini aku pelan-pelan bisa belajar.. bahwa tak ada yang lebih bisa benar-benar berlaku baik terhadapku, kecuali ya aku sendiri. Barangkali karena ketergantungan itu pula, yang mengakibatkan reaksiku terhadap penolakan, ketidak-pedulian, bahkan perbedaan yang ada dengan orang lain.. tak jarang menghadirkan konflik sebelum ini.
Seringnya, aku sendiri pula yang lebih dulu menarik diri ketimbang tersakiti lebih jauh.
Tapi.. itu akan berlalu, pola tersebut akan pelan-pelan kutinggalkan seiring perjalanan pulihku.
Terlebih, setelah mulai memiliki nyali untuk menceritakan sebagian dari perjalanan trauma yang selama ini kusimpan rapat di ruang bawah tanah milikku kepada psikolog. Baru kali ini aku menghimpun keberanian itu untuk pelan-pelan menguliti lapis demi lapis ingatan menyakitkan, yang selama ini berusaha keras dilupakan. Itu karena setiap kali mengingatnya, aku terjebak di ingatan bocah 13 tahun yang sangat menderita waktu itu.
Trauma-trauma itu pula yang membentuk gangguan psikologis yang kualami saat ini, ditambah dengan stressor dari luar.
Tak ada yang tahu persis pengalaman trauma macam apa yang membentukku sejauh ini, sebab menceritakannya pada orang-orang yang tak memiliki kapasitas itu, hanya akan membuatku terluka pada akhirnya. Jadi itu mengapa aku memilih me-museumkan ingatan itu.. kendati ternyata, pada puncaknya aku harus tetap menemui luka-luka itu dengan kondisi seperti ini.
Namun hal itu pula yang membuatku yakin, bahwa apa-apa yang kualami selama ini adalah bagian dari ketetapan Allah. Termasuk bagaimana aku dan suami mulai tersadarkan untuk datang ke profesional meminta bantuan. Satu dari ikhtiar pulih yang kutempuh.
Dibantu profesional yang memiliki kapabilitas untuk memahami permasalahanku, aku merasa jauh lebih aman sekaligus nyaman. Setidaknya, ada kode etik psikolog, dan itu akan menjaga apa-apa yang telah kusampaikan ke mereka. Dibantu psikolog, aku merasa beroleh ruang untuk mem-validasi emosi-emosi yang dirasakan tanpa mendengar kalimat penghakiman.
Seringnya ketika berbicara dengan orang-orang yang tak memiliki kemampuan mendengarkan dengan baik, mereka tak jarang buru-buru menghakimi kondisiku. Buru-buru pula menyodorkan solusi agar mendekatkan diri pada Tuhan, kendati yang kubutuhkan sebenarnya hanya ruang untuk memproses perasaan, dan waktu untuk memahami emosi-emosi yang hadir pada saat itu. Validasi bahwa tak masalah kok untuk melalui itu semua, sebagai manusia biasa. Tak masalah kok untuk merasa buruk, tak baik-baik saja, dan sesekali menangisi itu semua.
Sebab hanya dengan cara itu.. aku bisa memahami dan mengenali diri sendiri. Berdamai dengan hal-hal yang memang berlaku sebagai takdir.
Dan ya, dengan menerima kehadiran luka-luka itu ke permukaan, aku juga berproses menuju pulih setahap demi setahap. Ternyata benar ya, rasa sakit di alam bawah sadar, pada waktunya akan tetap mendesak keluar di alam sadar, dan mengusik ketenangan diri sewaktu-waktu.
Moment bom waktu itu pula yang aku rasakan beberapa bulan lalu, sebelum memutuskan untuk datang ke profesional. Setiap kali aku frustasi pada diri sendiri, satu-satunya doa yang kupanjatkan pada Allah adalah meminta petunjuk. Apa yang harus kulakukan, aku harus bagaimana, apa yang terjadi denganku selama ini, apa yang harus ditempuh. Bagaimana untuk keluar dari kondisi demikian?
Barangkali proses yang dijalani hari ini memang menjadi jawaban dari doa-doa itu.
Bahkan jika mengingat seluruh perjalanan atau kejadian-kejadian yang menjadi trauma terbesar di hidupku selama ini, sulit untuk menyangkal diagnosa dari psikolog terkait kondisiku yang mengarah pada gangguan Bipolar. Belum lagi seperti terlengkapi oleh diagnosa dari dokter psikiater.
Beberapa waktu lalu aku telah menghabiskan fase denial itu sebelum konseling kembali. Fase untuk meyakinkan diri bahwa memang gangguan itu ada, tetapi bukan berarti kehidupanku tak lagi utuh sebagai manusia. Jadi aku kembali menemui psikolog dengan perasaan yang jauh membaik setelah tiga minggu bergumul dengan denial tersebut. Barangkali itu yang membuatku siap membuka sepertiga dari perjalanan traumaku.
Ketika aku sudah mati-matian bertahan hidup sebagai orang dewasa yang kehidupannya "tampak" normal, terlepas separah apa luka yang kubawa. Namun hari ini, aku justru menghadapi diagnosa yang mematahkan semua pertahananku itu.
Hanya saja, aku di titik ini bersyukur atas diri sendiri. Aku merasa tak perlu lagi menjadi orang dewasa yang mati-matian hidup untuk memenuhi ekspektasi manusiawi. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri saat ini, seapa-adanya diriku. Aku dengan perjalanan trauma itu. Aku dengan gangguan psikologis yang sedang berupaya untuk dipulihkan. Entah orang lain suka atau tidak, terima atau tidak, aku tak lagi akan ambil pusing.
Aku hanya ingin memaknai sisa dari perjalananku ke depannya, dengan terus menjadi pribadi yang lebih baik.
Kendati aku sempat mengirim pertanyaan klise pada psikolog terkait berapa lama waktu yang harus ditempuh untuk benar-benar pulih? Aku menyayangkan diri, karena sebenarnya aku sendiri sudah tahu jawabannya. Alhasil, psikologku hanya membaca pesan itu haha. Tapi aku tak bereaksi lebih. Jika sebelum ini aku begitu sensitif menghadapi chat yang tak dibalas, hanya dibaca, bahkan terkesan ogah-ogahan.. kali ini aku lebih bisa berpikir bahwa orang lain memiliki kesibukan tertentu yang menjadikan fokus mereka terbagi-bagi. Chat personal tak menandakan keseluruhan dari interaksi yang ada. Kalau sebelumnya aku agak bar-bar menyikapi hal ini, bahkan meng-unfollow salah satu akun psikiater karena merasa diabaikan, haha.. kali ini, ah ya sudahlah, itu bukan masalah.
Aku tertegun pada diri sendiri, ternyata.. pelan-pelan aku bisa ya, tak lagi-lagi bertindak impulsif. Aku mengapresiasi diri untuk kemajuan kecil ini. Pelan-pelan mereset ulang false belief di dalam otakku, program keliru yang sekian lama membelenggu caraku.
Jadi kendati psikolog tak menjawabnya, tetapi yang aneh.. ketika membuka sosial media, jawaban-jawaban itu justru kutemukan di sana. Postingan dokter Rai, psikiater di Bali. Youtube video oleh dokter Andri, seorang psikiater pula. Menjawab pertanyaan itu. Bahwa yang terpenting adalah menikmati prosesnya, hadir di seluruh fase itu, bukan justru memikirkan kapan selesainya.
Masyaa Allah yaa, ditabok tepat sasaran rasanya :')
Seperti sebuah kebetulan tetapi tak ada yang namanya kebetulan, ketika membuat ikrar pada Allah untuk berproses memulihkan diri dan memohon pertolongan-Nya.. berbagai hal terkait healing seakan berjalan mendekatiku. Ilmu-ilmu, pengetahuan baru, wawasan, orang-orang dengan latar belakang serupa. Aku merasa dimudahkan untuk belajar lewat mereka. Semakin aku belajar, semakin aku mengenal 'siapa diri' yang sebenarnya selama ini. Semakin aku memahami apa permasalahan yang ada padaku, hal-hal apa yang membuatku sebelumnya seperti itu, maupun sebab-akibat yang menjadi pemicu.
Aku mulai memiliki kendali atas diri sendiri, self control yang sebelum ini terbilang lemah sekali.
Aku mulai bisa memutuskan mana yang pantas kuikuti, dan mana yang sebaiknya kutinggalkan. Termasuk keputusan untuk menghapus permanen beberapa akun sosmed, dan menon-aktifkan Facebook. Jadi aku hanya perlu fokus pada proses yang dilalui saat ini. Jika pun ingin menulis sesuatu hal, aku hanya cukup membagikannya di sini, dengan batasan yang tetap kumiliki.
Aku mengapresiasi progress diri. Sekian lama memendam luka, kendati pernah kusangkal luka batin dan traumanya.. sebab orang-orang di agamaku berkata untuk tidak mengeluh. Mereka berkata untuk sabar, dan ikhlas. Tetapi aku baru menyadari bahwa ada satu hal yang kurang dari saran nasehat mereka, tuntutan untuk tawakal itu seakan-akan menjadi keharusan yang justru memotong kesempatan seseorang untuk memaknai ulang kejadian-kejadian apa yang terjadi di dalam hidupnya, dan gambaran besar apa yang kemudian bisa ia peroleh serupa hikmah maupun ibrah dari semua pengalaman itu.
Ketika kita menemui seseorang, kita berharap merekalah orang yang bisa menjadi sandaran sejenak, tetapi orang tersebut justru memilih untuk mengabaikan emosi inti yang kita rasakan dengan tergesa-gesa meminta kita untuk letting go. Padahal, trauma tak pernah sesederhana itu. Cepat atau lambat ia akan berjalan keluar dalam bentuk lain jika tak ditangani dengan benar.
Memang betul, mengembalikan segala sesuatu pada Dia yang mengatur segalanya, adalah wujud dari refleksi terhadap ketauhidan di dalam diri seseorang. Bagian dari kepasrahan diri sebagai hamba yang tanpa-Nya, bukanlah apa-apa. Tetapi bukan berarti kita melupakan esensi diri sebagai manusia biasa. Bahwa emosi-emosi itu nyata, merasa buruk tak mengapa, merasa hancur bukan masalah, sebab fase demi fase kehidupan yang ada.. menghadapkan kita pada banyak momentum jatuh-bangun tersebut.
Kita butuh memvalidasi seluruh perasaan dan emosi sebelum benar-benar meletakkannya di dasar kesabaran, dan keikhlasan itu.
Kita mungkin tidak terdidik untuk belajar mem-validasi perasaan atau pengalaman orang lain, bahkan mungkin perasaan sendiri. Sebab kita seringnya dituntut untuk segera bangkit, menjadi manusia kuat, yang tak boleh tampak lemah di hadapan manusia lainnya. Sebab seakan-akan hanya sedang mengeluh, padahal kita tahu kok bahwa berjalan menuju Tuhan dan berserah diri itu jauh lebih utama, tetapi hati kita dirancang sebagai manusia. Pun salah satu esensi dari menjadi manusia sebagai makhluk, adalah mampu memanusiakan manusia lainnya. Kemampuan kita untuk bijaksana menyikapi, bukan hanya menghakimi. Kemampuan kita untuk mengakui bahwa rasa sakitnya, juga rasa sakit yang bisa kita rasakan.
Kemampuan untuk berempati, untuk mampu berwelas asih.
Ah iya, aku harap setelah semua ini berlalu.. aku bisa merangkul orang lain yang serupa denganku dengan cara yang tepat, agar dia bisa beranjak pulih dan merangkul seluruh pengalaman itu sebagai sebaik-baik pemberian dari-Nya. Aku tak akan memaksanya buru-buru menuntaskan kesedihan, ketika dia masih memerlukan fase itu. Karena terkadang, yang kita butuhkan sebagai manusia.. hanya ruang untuk dipahami, didengarkan, dan diakui.
Jujur, aku sendiri mengasihani diri sendiri, ketika menemui sosok-sosok hebat dalam diriku yang tertepiskan sekian lama. Di titik itu aku menangis serapuh mungkin. Mengakui berbagai ketidak-idealanku sebagai manusia. Rasa sakit, kesedihan, penderitaan, amarah, kebencian, semua emosi-emosi yang pernah kupendam.. kubiarkan keluar satu persatu. Aku menyadari, bahwa dengan menerima keberadaan mereka, akan lebih mudah bagiku untuk memproses ulang perasaan tersebut. Memahami pesan-pesan apa yang ingin mereka sampaikan padaku di hari ini.
Dimulai sejak Rabu lalu, di sesi konseling yang rasa-rasanya lebih layak disebut sebagai turning point yang sebenarnya. Psikolog sempat bilang bagaimana jika pengalaman itu kutulis menjadi sebuah buku. Persis permintaan beberapa teman yang secara kebetulan mengikuti postingan-postinganku terkait healing, dan meminta agar aku menuliskan itu semua.
Hanya saja, aku sendiri bertanya-tanya.. apa suatu hari jika berhasil melampaui ini aku bisa sepenuhnya membagikan pengalaman itu? Setidaknya, ketika mengingat slide kejadiannya, aku tak lagi merasakan sakit. Mungkin di fase itu, aku baru bisa bercerita sejujur-jujurnya, tanpa menutupi rasa sakitnya.
Saat ini, menulis di blog bagiku sudah cukup. Aku hanya membutuhkan ini sebagai satu dari tahap menyembuhkan diri. Writing is healing. Journaling for self discovery and healing myself.
Menuliskan bagaimana progressku, perasaanku, dan menganalisa kembali sejauh apa perkembanganku. Pelan-pelan, bahkan menjadi turning point tersendiri bagiku.
Titik balik di mana aku kembali menemukan "diriku yang berharga" yang selama ini ketakutan, kesepian, menderita dengan membawa bongkahan batu besar di dadanya. Aku kembali menemui diriku yang berharga itu, sehari setelah konseling kemarin.
Titik balik di mana aku memaknai ulang hubunganku dengan orang-orang yang ada di kehidupanku.
Titik balik di mana aku juga kembali memaknai hubunganku dengan-Nya. Merasakan betapa dekat bantuan pertolongan-Nya, betapa Allah tak pernah jauh ketika hatiku berkali-kali menyangkal. Ini yang membuatku seperti ingin kembali berlari kepada-Nya, persis di awal waktu aku belajar mengenali-Nya, belajar mengenali agama ini.. sebelum kejadian itu mengubah drastis skema hidup yang telah kurancang sebelumnya.
Kupikir, seluruh perjalanan itu justru untuk mempersiapkanku bertumbuh lebih kuat dan tangguh. Aku tak pernah benar-benar melangkah sendiri.
Bahkan ketika menangis kesakitan, ketika meminta pertolongan tetapi tak ada yang bisa memahami, aku menyadari Allah satu-satunya yang dapat mendengar suara itu. Ketika batinku menangisi kesendirian kendati berada di tengah keramaian, bukan Allah yang mengabaikanku.. aku yang menutup mata dari tanda-Nya waktu itu.
Jika diputar ke belakang, aku telah menemukan luka batin macam apa yang membuatku menutup diri, luka batin dari bocah 13 tahun.
Bismillah.. aku semakin optimis untuk berangkat menuju titik pulihku. Tak masalah jika harus dibantu oleh profesional untuk melerai benang kusut di pikiran maupun perasaanku. Tak masalah jika butuh bantuan profesional untuk meluruskan apa-apa yang keliru padaku, termasuk membenahi perilaku. Bukankah menempuh jalan pengobatan juga ikhtiar kesembuhan? Bagian dari tawakal, dan ibadah? Sebab tawakal saja bukan berarti hanya diam, dan tak berupaya.
Jika Allah menjamin setiap penyakit memiliki obat penawarnya, maka aku sedang bersisian dengan penawar itu. Bismillah bi'iznillah..
Semangat pulih ya diriku, terima kasih kamu sudah berjuang tangguh. Bahkan ketika orang lain mengecilkan masalahmu, itu karena mereka hanya tak tahu menahu seberapa dalam lukamu, bahkan jika bertukar posisi pun.. belum tentu orang lain akan lebih kuat, dan mampu melalui semua perjalanan itu.
Allah memberikan kejadian besar pada orang-orang yang Dia pilih, demi menjadikan mereka semakin hebat dalam belajar, dan bertumbuh dengan baik.
Aku belajar satu hal penting, semoga mampu mengetuk hati orang-orang yang belum mampu berempati untuk bisa pelan-pelan belajar apa itu empati .. "Hanya karena kita merasa masalah kita lebih besar dari orang lain.. bukan berarti masalah orang lain seharusnya kecil bagi orang tersebut, dan harus kita kecilkan pula. Bukan berarti ketika rasa sakit orang lain belum ada apa-apanya dengan rasa sakit yang pernah kita rasakan, atau bahkan belum pernah kita rasakan, bukan berarti pula kesakitannya tak bermakna."
Tak ada beban tanpa pundak, dan beban itu Allah takarkan sesuai dengan kekuatan si pemilik pundak.
Mari belajar untuk mem-validasi perasaan, emosi-emosi, pengalaman orang lain, ketimbang langsung memintanya untuk buru-buru bangkit melupakan rasa sakit. Padahal lukanya masih ada, dia belum sepenuhnya pulih, dia hanya berpura-pura menjadi manusia menurut ekspektasi orang lain.
Apa kita mau ada banyak manusia yang hanya berpura-pura? Akan lebih baik jika kita bisa saling menerima segala sisi buruk-baik tersebut, menjadikannya manusia utuh dengan segala ketidak-idealannya tersebut.. dan pada akhirnya, setiap kita akan menemukan makna-Nya dengan pengalaman yang dimiliki oleh diri masing-masing.
It's okay to not be Okay. You're only human :)
Maka jadilah manusia, yang bersikap sebagai manusia, yang juga dapat memanusiakan manusia lainnya..
Aku percaya agama agung ini, membawa pesan damai dengan cara yang tenang. Seperti akhlak Nabi. Tulisan ini, juga adalah refleksi bagi diri sendiri, sama seperti sebelumnya. Semoga bermanfaat bagi yang membaca, aamiin ..
Baca juga :
_________________________
Magelang, 3 Oktober 2021
copyright : www.bianglalahijrah.com
1 Komentar
Aku memang ga tahu seperti apa trauma yg mba rasakan dulu, sampai terbawa hingga kini :(. Tapi aku yakin itu sangat menyakitkan.
BalasHapusAku berdoa mba bener2 bisa melewati proses untuk pulih ini, hingga bisa 100% pulih. Sedih saat baca ceritanya 😢.. langsung merasa kayaknya masalahku dengan orangtua belum ada apa2nya, apalagi kami hanya ribut soal sepele pada awalnya.
1 hal yg bisa aku ambil pelajaran dari kisah ini, aku mau lebih berusaha utk sabar dan dekat Ama anak2ku. Krn memang hal2 menyakitkan yg dialami saat kecil bisa aja membuat mereka trauma besarnya :(.
Thank you udah sharing ya mbaaa 🤗
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)