Bapak, Patah Hati Terbesarku Sebagai Anak Perempuan
mudik, 2017 |
Dari beliau aku belajar banyak hal, bahwa apa yang tak terungkap lisan bukan berarti tak pernah ada atau sama sekali tak dirasa.
Beberapa orang yang kukenal di dunia nyata maupun dunia maya.. baru berduka sebab kehilangan seorang ayah di tengah-tengah mereka. Ada yang berpulang dalam kondisi sehat tanpa pertanda apapun. Ada yang berpulang di pelukan sang istri dengan anak-anak yang masih sangat memerlukan figur ayah. Setiap kematian adalah perpisahan bagi orang yang ditinggalkan. Menyisakan patah hati yang menyesakkan bagi orang-orang terdekat.
Ngomong-ngomong soal patah hati. Patah hati terbesarku sebagai anak perempuan adalah ketika harus berjarak dengan Bapak. Nyaris empatbelas tahun yang lalu, saat orang tua memutuskan untuk bercerai. Awal dari kehilangan sosok Bapak yang tadinya begitu akrab berada di sekitarku, tetiba menghilang dari peredarannya. Aku tak hanya patah hati sebab menyaksikan perceraian kedua orangtua, tetapi tatkala keduanya sama-sama berjalan jauh dengan saling memunggungi, Bapak pelan-pelan ikut berubah.
Aku beserta adik-adik terpaksa membiasakan diri dimulai sejak saat itu.
Sebagai anak tertua, keluarga tentu menaruh ekspektasi lebih terhadapku. Aku harus menggantikan peran Bapak dan Emma. Harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah di samping tugas-tugas sekolah. Aku dituntut untuk bertanggung jawab pada adik-adik yang masih kecil. Bahkan adik bungsuku belum genap setahun waktu itu dan baru saja belajar merangkak.
Ketika orang-orang menuntutku untuk menjadi lebih dari apa yang mereka inginkan, mentalku terpuruk sedalam-dalamnya. Tak ada penguat, tak ada sosok pelindung, tak ada tempat bergantung lagi. Bahkan Bapak yang semula begitu dekat denganku, seakan hidup menjauh.
Perceraian orangtua membalik kehidupan kami begitu drastis.
Jika tak melulu perceraian menjadi hal yang buruk bagi diri seorang anak, itu karena sebagian orang tua yang usai bercerai masih tetap menjalankan fungsinya sebagai seorang ayah atau pun ibu. Yang berbeda hanya, tatkala keduanya tak lagi berjalan satu arah dan menetap di bawah atap yang sama.
Di usia tigabelas tahun aku dituntut untuk memahami perpisahan orang tua sebagai hal wajar yang harus dilalui. Tak ada yang melihat persis bagaimana perasaan patah hati memukulku berkali-kali sebab Bapak melangkah keluar dari rotasi kehidupan kami.
Bapak bukanlah sosok yang gampang melayangkan pukulan apalagi sumpah serapah tatkala marah pada kenakalan anak-anaknya, sedikit waktu yang dimilikinya kala membersamai kami, tetap saja membekaskan rasa kehilangan.
Belum lagi jika mengingat bagaimana kedekatan kami, Bapak selalu berhasil membuat tempat khusus di hati anak-anaknya. Melebihi Emma, aku jauh lebih dekat dengan Bapak. Bahkan setelah mereka bercerai, dan satu persatu dari kami melangkah keluar dari tanah kelahiran, komunikasi dengan Bapak masih terus berlanjut.
Aku tahu, Bapak tak pernah menyerahkan langsung sejumlah uang untukku agar bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik. Itu karena, Bapak tak tahu bagaimana cara memandang pendidikan anak perempuannya sebagai hal besar dari sederet impianku yang tak beliau ketahui.
Bapak sendiri tak mengenyam sekolah tinggi. Ketika keluarga besar Emma menentang keinginanku untuk melanjutkan sekolah, selain Emma, diamnya Bapak seakan lampu hijau bahwa ia tak sepenuhnya menyumbang suara untuk memberatkan niatku bersekolah.
Tak ada diskusi. Tak ada motivasi. Bapak bukan lawan bicara yang nyambung untuk membicarakan dunia pendidikan. Yang beliau tahu, kami bersekolah, naik kelas, atau mungkin lulus pada masanya. Tetapi Bapak menyimpan kebanggaan tersendiri, yang tak ia ucapkan untuk melihat anaknya sampai di altar universitas berkat sokongan sang menantu yaitu suamiku.
Pun ketika Bapak seolah berhenti menengok kami, memenuhi sebagian besar kebutuhan kami, aku menjadi begitu patah hati berkali-kali lipat lebih besar tetapi tak pernah bisa membenci sosok beliau.
Sama persis ketika keluarga barunya, kecemburuan yang seharusnya tak ada, menjadikan hubunganku dengan Bapak seperti bersekat tembok begitu tinggi. Ditambah jarak yang memisahkan kami begitu jauh, antara pulau Jawa dan Sumatra. Bapak seakan kian berseberangan dari kami. Aku tak meminta lebih, bahkan ketika orang lain memaknai salah keterikatanku dengan Bapak. Bukan karena menuntut hakku sebagai anak darinya, bukan pula seburuk apa yang mereka sangkakan. Bagaimanapun, hubunganku dengan Bapak takkan pernah terputus.
Cukuplah dengan terjalin silaturahim, antara anak dengan orangtua. Jika ada hal lain yang membuat orang di luar kami berkeberatan, seharusnya masih bisa dibicarakan baik-baik. Agar tak ada sekat yang meregangkan hubunganku dengan Bapak, sekalipun hanya lewat komunikasi seluler.
Aku masih patah hati, aku tak pernah marah dengan keputusan Bapak untuk menikah lagi. Aku sendirilah yang menyodorkan anjuran itu padanya, agar Bapak tak lagi sendiri.
Aku tak cemburu ketika pernikahannya melahirkan satu orang lagi anak perempuan, dan membuatku tak lagi menjadi satu-satunya anak perempuan dari pernikahan Bapak dan Emma tadinya. Aku memiliki satu lagi saudari perempuan dari benih yang sama, kendati lahir dari rahim yang berbeda.
Aku tak pernah mempertanyakan seberapa banyak perhatian, waktu, kasih sayang, bahkan biaya pendidikan yang harus Bapak penuhi atas anak-anak tiri yang ada di pernikahannya saat ini.
Itu karena aku merasa tak berhak mempermasalahkan apapun mengenai kehidupan Bapak, sekalipun itu menjadikan patah hati terbesarku sebagai anak perempuannya.
Aku berusaha memahami Bapak, beserta amanah yang tersampir di pundaknya saat ini. Tak ada keberatan sama sekali. Tak pula pernah kupermasalahkan. Aku dengan tulus datang pada keluarganya, menganggap anak-anak dari pernikahannya saat ini juga sebagai saudara kandungku.
Rindu sekali pada beliau, sekadar mendengar suara Bapak walau dari kejauhan sana.
Dari Bapak, aku belajar memahami bahwa di sebalik diamnya, dari sedikit kata yang mampu beliau ucapkan di pertemuan kami setelah bertahun-tahun terpisah, Bapak tentu punya lebih banyak kata yang ingin ia ucapkan. Hanya saja tak dapat dilontarkan melalui lisan, aku paham betul sebab Bapak tak pandai menyusun kata. Ia lebih suka memainkan bidak dalam permainan caturnya. Bekerja dalam diam ketika harus memanggul puluhan biji kelapa dalam sekali jalan.
Terkadang beliau tampak misterius di balik diamnya. Kadang pula terlihat hangat dari senyum yang menyabit di wajahnya. Aku yakin Bapak memiliki sepaket cinta dan kasih sayang, tak berubah, tak berkurang, walau tak pernah ia tunjukkan berlebih.
Bapak adalah patah hati terbesarku.
Aku pernah mengalami patah hati dari biasnya cinta monyet di masa remajaku.
Tetapi kehilangan sosok Bapak, adalah patah hati terbesarku sebagai anak perempuan.
Entah bagaimana, aku masih merindukan momen kebersamaan bersama beliau.
Rindu pada empek-empek seharga seratus rupiah, yang kala itu menjadi jajanan rutin di sore hari, ketika kami masih tinggal di Jambi.
Rindu ketika Bapak selalu menggendongku setiap kali beroleh omelan Emma, dan Bapak kerap memasang badan hingga wajah Emma kian meradang.
Rindu ketika ingatan masa kecil menggelitik, tatkala berjalan di pasar malam dan duduk di atas pundak beliau, aku nyaris lemas dengan wajah biru karena tersedak biji rambutan.
Betapa Bapak juga merupakan tabib yang hebat, sebab semasa kecil aku begitu sering dilanda demam panas. Hanya Bapak yang tak pernah banyak suara untuk terjaga semalaman, demi memastikan demamku turun. Jika Emma memasak enak setelah terlebih dulu mengomeliku, Bapak akan langsung membelikan apa saja makanan yang hendak kumakan saat itu, walau harus berjalan kaki dari rumah ke pasar.
Bahkan kami punya tongkrongan warung kopi langganan.
Bapak pula yang ternyata diam-diam menangis dan jatuh sakit setelah hari pernikahanku, aku tak tahu menahu, tetapi seseorang menyampaikan hal itu padaku.
Jika ditanya dari mana kemampuan memasak kuperoleh sebagai anak perempuan, maka pengalaman memasak paling berkesan, pertama kali kupelajari dari cara Bapak menyiapkan kami menu nasi goreng kampung dan terasi bakar andalannya. Kadang pula soup ubi dengan sambal belacannya, ikan asin yang hanya cukup dibakar, pecak terong dengan sayur beningnya. Masakan Bapak amatlah sederhana tetapi rasanya masih akrab di ingatanku.
Bapak adalah suami yang tak enggan masuk ke dapur, yang bersedia mencuci darah nifas ketika Emma melahirkan, mungkin ini hanya secuil kebaikan yang kuingat tentang beliau selama tigebelas tahun hidup bersama. Bapak tentu memiliki banyak lagi kelebihan lainnya, kami hanya tak sempat menyaksikan itu lebih lama.
Bapak juga bukan lelaki berpendidikan yang memiliki wawasan luas dengan kebijaksanaan untuk menyikapi permasalahan. Karena itu pula Bapak dan Emma pada akhirnya berpisah setelah tigabelas tahun bersama.
Mungkin benar, seperti apa potret dan ekspektasi anak perempuan tentang sosok suami idaman, itu tak lepas dari figur Bapak yang ia miliki.
Dalam satu waktu, aku membandingkan suamiku dengan sosok Bapak. Tetapi membandingkan mereka berdua jelas tak tepat. Bapak dengan segala lebih dan kurangnya. Suamiku adalah lelaki yang juga memiliki kelebihan tersendiri yang tentu tak dimiliki Bapak. Mereka bahkan berasal dari generasi berbeda. Tumbuh, dibesarkan di lingkungan, pengalaman hingga pada pendidikan yang juga jauh berbeda.
Bapak itu, orang yang tak banyak cakap. Tetapi cinta dan perhatiannya terejewantahkan dengan jelas.
Sosok yang tak suka didebat, tak suka dibantah, tetapi kasih sayangnya begitu nyata. Teringat ketika mudik 2017 lalu dan kami menginap di rumahnya, anakku rewel dan seisi rumah dibuat terjaga. Bapak diam-diam keluar rumah tengah malam itu. Kupikir Bapak terusik dengan suara tangis Aidan. Selang tak lama kemudian, beliau pulang dan menyodorkan sebungkus plastik hitam. Ternyata beliau keluar demi membeli beberapa makanan ringan untuk cucunya.
Mataku sontak berkaca haru, kami tersentuh. Aku tahu Bapak terkesan tak banyak bicara, juga seperti menaruh batas, itu karena ia menjaga perasaan anak dan istrinya. Aku tak masalah dengan itu. Paling tidak, Bapak ternyata masih memiliki keistimewaan yang pernah lekat dalam memoriku.
Bapak, bahkan hingga detik ini.. adalah patah hati terbesar dalam hidupku.
Dari sosok Bapak aku beroleh cinta sekaligus luka..
Dari Bapak, aku beroleh kenangan manis sekaligus tangis..
Dari Bapak, aku memiliki beberepa kriteria seorang suami yang hari ini telah kunikahi :')
Dari Bapak pula, aku tahu rasanya marah tetapi tak pernah bisa membenci. Pada akhirnya, aku memilih untuk memberikan maaf bahwa Bapakku adalah sosok laki-laki dengan banyak kekurangan. Ia tak sempurna. Beliau lelaki sederhana yang tak pernah tampak menonjol di tengah keluarga besarnya yang berpunya.
Bagaimanapun, Bapak meninggalkan sebagian kenangan manis yang layak untuk dikenang dalam ingatan anak perempuannya ini.
Bapak, terima kasih. Semoga Bapak sehat selalu. Panjang umur. Tak kurang satu apapun. Kelak, semoga aku diberikan kesempatan untuk sekali lagi menjadi anak perempuanmu. Anak perempuan yang bisa merawatmu di hari tua.
Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira. Aamiin allahumma aamiin.
_____________________________________
Magelang, 2 Juni 2021
copyright : www.bianglalahijrah.com
4 Komentar
Saya tak bisa bayangkan apabila saya mnjadi mbk ini... Mungkin disaat kita masih kecil belum memahami pikiran orang dewasa.. Namun stelah berkeluarga, mungkin bisa memahami perasaan bapak dikala itu dan niat nya untuk berpisah..
BalasHapusSejauh ini sudah memahami dan ikhlas dengan pilihan yang mereka buat saat itu. Masing-masing orang tua juga telah melanjutkan hidup, menikah lagi, dan insyaa Allah berbahagia dengan keluarganya saat ini. Kami sebagai anak tetap mendoakan yang terbaik untuk keduanya :)
HapusKisah yang mengharu biru. Saya ikut hanyut membacanya. selamat malam, Mbak.
BalasHapusMasyaa Allah, terima kasih sudah membacanya Mbak. Mohon doa agar beliau sehat selalu dan panjang umur. Aamiin...
HapusAssalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)