Jurnal Diri : Quarter Life Crisis di Usia 27 Tahun?
Ada apa dengan quarter life crisis yang kukira sudah berlalu di usia 25 tahun lalu, dan belakangan seperti terjadi kembali? Dari browsing dan baca di beberapa artikel terkait, fase ini sangat mungkin dilalui ketika usia memasuki 27 tahun, berdasarkan sebuah penelitian.
Rasanya semakin ke sini, semakin bertambah umur, seperti kian sadar bahwa akan ada banyak hal yang terus berubah seiring waktu dan itu tak bisa dihindari.
Dimulai dari bertambah sedikitnya kontak yang tersimpan. Aku ingat persis, dua tahun lalu kontak yang tersimpan di handphone nyaris melebihi 700 nomor. Berbanding terbalik dengan saat ini, ketika kontak yang ada hanya berkisar 120 nomor saja.
Begitu pula dengan daftar pertemanan di sosial media seperti Facebook, dari jumlah 5000 pertemanan yang selalu penuh.. sekarang hanya tersisa 1800 setelah beberapa kali disaring dengan menghapus pertemanan yang ada.
Berusaha menghindar dari hal-hal yang mendatangkan konflik. Jika sebelumnya aku bisa sangat impulsif, to the point ke lawan bicara, kali ini aku memilih untuk lebih banyak diam. Menyadari bahwa tak semua orang memahami dengan baik maksud yang ingin kusampaikan. Beberapa orang dengan karakter beserta SDM yang berseberangan, hanya akan menangkap maksudku secara kasar hingga memantik permasalahan lain.
Jika akhir-akhir ini aku merasa lelah, sepertinya tak lepas dari faktor mental yang butuh di-recharge ulang.
Mentalku lelah.
Banyak hal yang simpang-siur dan muncul tiba-tiba di dalam kepala.
Seperti mulai memikirkan banyak hal yang terjadi dalam hidup, tentang sebab dan akibat, awal dan akhir, baik dan buruk, semua hal yang seolah-olah bergelinding dengan pola yang sama secara terus menerus.
Kembali ke satu titik, beranjak, lalu kembali lagi ke titik semula.
Pada akhirnya kita memang akan sampai di titik jenuh.
Aku tahu, bagaimanapun hidup ini dilakoni, seperti apapun kamu, ujungnya adalah menghadap pada kematian. Perjalanan akhir di dunia, tetapi babak baru dari perjalanan yang sesungguhnya.
Betapa kita mungkin terlalu sibuk dengan perkara dunia. Sibuk mencari keridhaan manusia. Tahu-tahu berpulang ke tempat paling hakiki.
Eh, bukan kita. Ini lebih ke pengingat diriku sendiri.
Berangkat dari semua pemikiran berat itu, hal yang paling melegakan sejauh ini walau terkesan memutus dan menutup banyak circle yang kumiliki tadinya, baik anggota keluarga, orang-orang terdekat di kehidupan nyata, sampai pada teman-teman di semasa sekolah dulu.. dengan sadar aku hapus dari pusaran linimasa pada sosial mediaku. Baik itu di WhatsApp, Instagram, bahkan Facebook. Aku tentu memikirkan ini matang-matang sebelum mengambil tindakan.
Untungnya, aku merasa lega. Aku seperti melepaskan satu ikatan kencang yang selama ini mengikat dadaku sangat kuat, aku bisa bernapas lapang.
Aneh ya?
Entah fase seperti apa namanya ini.
Perasaan jenuh. Penat. Kelelahan mental. Enggan berdebat sekalipun aku tahu, aku bisa saja memenangkan argumentasi. Sampai pada tindakan-tindakan yang kuambil untuk kebaikan diri sendiri.
Aku ingin diam untuk waktu yang lama, namun kepalaku sendiri sangat berisik, karenanya lebih banyak menulis mungkin jauh lebih baik untukku saat ini.
Aku tak bisa menghapus kata-kata yang terlontar dari lisan dan mungkin terlanjur ditangkap indra pendengaran orang lain. Tetapi saat menulis, dari keseluruhan apa yang berusaha aku ungkapkan, akan ada beberapa yang bisa kuperbaiki atau dihapus kapan saja.. sebab aku menulisnya untuk diri sendiri.
Lantas, apa aku akan benar-benar beranjak menuju dewasa di usia ke 27 kali ini?
Seperti apa itu dewasa?
Dulu saat kecil, aku mendambakan menjadi orang dewasa tanpa larangan ini itu, dan sepenuhnya berhak mengambil keputusan atas hidupku tanpa perlu banyak didikte. Nyatanya kehidupan dewasa yang kujalani kali ini berisi berbagai konsekuensi, akumulasi dari pilihan yang tadinya kuambil dan harus dihadapi.
Aku tak memilih untuk lari. Sejauh ini aku mengambil langkah demi langkah, menjalaninya, menghadapi resikonya, berhenti ketika benar-benar lelah atau merasa telah mencapai batas diri untuk berbuat lebih.
Kehidupan dewasa yang kuhadapi di depan mata, jelas jauh lebih kompleks dari bayangan masa kecilku dulu.
Semakin dewasa, semakin sedikit teman.
Semakin dewasa, semakin enggan bermasalah, seakan-akan diam mengalah mungkin dapat sedikit meredam permasalahan. Cukup bersuara di saat benar-benar dibutuhkan, ketika diam tetap saja diusik.
Kian dewasa, semakin banyak pikiran-pikiran berat yang mengusik. Tentang jati diri, kondisi financial, pencapaian, cita-cita yang benar-benar realistis untuk diwujudkan dalam waktu dekat. Hingga pada bagaimana kematian orang-orang yang kau kenal, seperti alarm tersendiri. Bahwa hidup memang hanya sesingkat itu, berlelah-lelah dengan segala hal yang disuguhkan dalam hidup, kemudian menutup mata untuk selamanya. Setahun, dua tahun, kita masih akan menjadi bahasan orang-orang terdekat tentang bagaimana kita tiada. Dan beberapa tahun kemudian, kita mungkin tinggal kenangan.
Aku berpikir, hal baik apa yang bisa membuat orang lain tetap mengingatku kelak?
Katanya dengan menulis, tetapi aku sendiri belum merasa melahirkan suatu karya besar yang dapat memberikan kontribusi baik bagi banyak orang. Jika minimal untuk diri sendiri, mungkin aku cukup berbangga dengan lahirnya satu atau dua karya yang terbit. Tetapi itu saja ternyata menjadi cubitan diri, mempertanyakan keberadaan diri, jejak karya macam apa yang akan ditinggalkan bagi orang-orang yang mungkin sempat mengenalku di dunia?
Aku memikirkan banyak hal yang tak lagi sesederhana sebelumnya. Fase ini tentu akan berlalu. Namun beberapa tahun yang akan datang, akan ada pertanggungjawaban baru bagi diri sendiri, dan paling tidak.. hari ini aku sungguh-sungguh berusaha untuk lebih berarti agar di waktu yang akan datang, aku tak menangisi waktu dan kesempatan yang berlalu begitu saja.
Itu karena aku sudah berusaha sekuat dan sebaik yang aku bisa lakukan.
Aku sepenuhnya sadar mengenai kodrat yang mengikatku sekarang. Aku seorang istri, seorang ibu dari dua anak yang membutuhkan lebih banyak perhatian. Walau aku sendiri dalam beberapa waktu mempertanyakan peran diri, sudah sebaik apa, dan selayak apa. Aku tak memiliki keinginan atau keberanian untuk melangkah keluar dan berjarak jauh dari anak-anak. Sebab di waktu yang sama.. anak-anak dengan segala tetek bengek urusan rumah tangga yang menyibukkanku selama ini, terus saja mengikat dan membayangi langkahku ke manapun pergi.
Seharusnya ini bukan beban.
Aku terikat dengan anak-anakku. Aku seperti tak bisa jauh, bahkan dalam sehari.
Semampunya berusaha untuk mempelajari perasaan yang lebih berisi ketakutan-ketakutan.
Aku takut jika melewatkan masa ini dan sibuk mengejar kesempatanku di luar rumah, aku akan menyesali waktu yang terlewat tanpa pernah membersamai anak-anakku, sedekat saat ini. Sesering yang sudah berlangsung hingga kini.
Aku takut, aku akan menjadi sebagaimana ibuku.. yang pada akhirnya memilih menjalani hidupnya dan memunggungi anak-anaknya. Lalu menangisi keadaan hari ini, sebab waktu tak dapat diulang kembali. Aku dan adik-adikku tumbuh dewasa tanpa perhatian, dan kasih sayang dari kedua orang tua. Dan ibuku terlambat menyadari itu.
Barangkali inner child mengambil beberapa hal penting dalam hidupku.
Aku tak merasa menjadi orang dewasa yang semestinya. Tetapi paling tidak, aku berusaha untuk menjadi ibu yang lebih baik. Aku berusaha keras memutus rantai buruk dari pola asuh yang kudapatkan saat kecil hingga tumbuh remaja.
Aku sedang belajar memahami luka batin macam apa yang memasung jiwaku selama ini. Jika beberapa waktu lalu aku mengaku ikhlas pada beberapa hal yang terdapat di masa laluku. Ikhlas saja bukan berarti luka batin yang membekas ikut sembuh seketika.
Aku berjuang, aku masih terus berusaha untuk menyembuhkan diri. Sekalipun tanpa dukungan. Sekalipun tak ada yang benar-benar memahami, termasuk pasangan hidup sendiri.
Aku yakin, pada waktunya nanti.. aku dapat benar-benar sembuh dan menjadi orang dewasa yang berbahagia dan penuh karya, lalu tiada dengan akhir yang baik. Insyaa Allah.
Aku juga bisa menjadi orang tua yang tak lagi menangisi potret kenangan masa kecilnya yang terluka sangat banyak, dan kadang melampiaskan itu pada bentuk ekspresif anak-anak yang kusebut nakal. Padahal, aku sendirilah yang tengah bertarung dengan ketidaknyamanan diri sendiri.
Suatu hari .. aku akan sembuh. Jiwaku akan sepenuhnya lepas dari luka batin itu.
Aku akan berdikari di atas diri sendiri. Dan untuk angka 27 di hidupku kali ini terhitung tiga bulan dari sekarang, atas izin Allah, jadilah masa yang baik. Di mana ada banyak kebaikan yang dapat kutoreh bagi diri sendiri terutama orang lain.
Akan ada banyak pengalaman berharga yang mengilhami diri untuk bertumbuh lebih baik.[]
Hai diriku yang terluka, juga diriku yang sedang berusaha "baik-baik saja", kutahu kegamangan yang menderamu kali ini.. masih terhubung erat dengan luka batin di masa lalumu. Tak apa, selama kita tetap melangkah. Selama kita terus berusaha menjadi baik dan berbuat yang terbaik.
Bismillah biidznillah. Jangan menyerah.
______________________
Magelang, 30 Mei 2021
copyright : www.bianglalahijrah.com
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)