Ketika Salah Memilih Suami
Betapa banyak para wanita sekarang ini yang menangis penuh penyesalan ketika mereka menikah dengan orang-orang yang kelihatannya bagus dalam menjalankan agamanya, ternyata mereka mendapati para suami mereka termasuk orang yang paling buruk dalam mempergauli istri-istrinya. ~anonimous
Tak mudah bagi perempuan yang menikah untuk memutuskan akhir dari pernikahan yang sebenarnya tak berjalan baik-baik saja. Terlebih, jika dari pernikahan itu telah lahir buah hati yang semestinya menjadi perekat dan penyejuk hati kedua orang tuanya.
Tak ada yang menghendaki menjalani status baru sebagai single parent jika semestinya bisa melakoni peran sebagai orangtua bersama-sama, tanpa ada perceraian yang menjadi jurang pemisah bagi kedua belah pihak.
Memang benar, status pada pasangan bisa saja berganti menjadi mantan. Tetapi hubungan antar anak dengan kedua orangtuanya, sekalipun telah berpisah tujuan, takkan pernah terputus selamanya. Tidak ada yang namanya mantan anak. Sepasang manusia yang tadinya memilih menetap bersama tetapi kemudian berpisah, masih harus menjalani peran sebagai orang tua yang saling mengisi kendati tak lagi satu visi dan misi dengan cara mengenyampingkan ego masing-masing.
Jika tidak demikian, maka anak-anak lah yang menjadi korbannya.
Aku sepakat, tidak semua perceraian orangtua benar-benar buruk bagi seorang anak. Ada yang setelah sekian lama tercekik dalam toxic relationship yang terjadi dalam keluarga, kemudian dapat bernapas lega sekalipun harus menerima kenyataan bahwa keluarga yang dimilikinya tak lagi seutuh keluarga lain.
Pada realitanya, tak selalu keluarga yang bahagia harus berangkat dari keluarga yang utuh.
Namun satu hal yang pasti, kenyataan bahwa anak-anak lebih membutuhkan sosok panutan dalam diri kedua orangtuanya. Itu karena orang tua adalah lingkup pertama bagi seorang anak yang dirinya anggap sebagai "safe heaven" atau "secure base" bagi mereka. Jika sosok terdekat dan paling utama yang mereka percayai ternyata gagal memberikan apa yang seorang anak butuhkan, maka yang terjadi adalah anak-anak dengan perkembangan sosial-emosional yang bermasalah dan itu akan terus terbawa walau ketika si anak tumbuh dewasa.
Jadi kendati menyakitkan, walau mungkin terkesan egois, mempertahankan toxic relationship dalam sebuah keluarga hanya akan terus mengulang pola luka yang sama dari orang-orang yang juga sama. Seseorang berhak keluar dari hubungan tak sehat yang menyiksa batinnya selama bertahun-tahun. Terlepas ada yang mendengung-dengungkan saran untuk tetap tabah dan ikhlas tatkala menakar ujian seseorang, padahal belum tentu ia sendiri sanggup melampauinya jika dirinya lah yang ditimpa ujian serupa.
Betapa kadang, manusia sebatas bersimpati tetapi tak meletakkan empati pada tempat yang tepat.
Jika seseorang berpendapat bahwa kebahagiaan anak juga bermula dari orangtua yang bahagia, maka aku sepakat untuk membenarkan hal itu.
Pernikahan yang sehat menumbuhkan hubungan yang sehat pula, baik antar pasangan suami istri, maupun anak kepada orangtuanya, begitupun sebaliknya. Ada feedback yang sama-sama baik terhubung diantaranya.
Jadi, setelah lelah bertahan dan menjadi baju bagi pasangan.. apa perceraian tak boleh dijadikan solusi?
Aku yakin ada banyak pertimbangan yang diambil seseorang sebelum memutuskan untuk melangkah keluar dan berhenti menjalani hubungan tak sehat yang bukan dalam hitungan hari ia jalani.
Ada banyak dilema dan pemikiran pelik yang menyertai keputusan seorang perempuan, tatkala dihadapkan pada pilihan berpisah.
Dari pandangan minus lingkup sosial yang kerap terarah pada perempuan dengan status single parentnya. Gambaran tentang bagaimana nanti setelah bercerai? Bagaimana membesarkan anak-anak dan harus menjadi tulang punggung yang mungkin tak selalu bisa berharap nafkah akan terus mengucur dari ayah anak-anaknya ketika telah bercerai.
Beruntung jika sang mantan memiliki kesadaran bahwa nafkah terhadap anak-anak tak terputus hanya dengan perceraian yang ada. Di luar sana, tak jarang ada laki-laki yang begitu bercerai dengan sang istri, menganggap bahwa anak yang ada di bawah asuhan mantan istrinya bukan lagi tanggung jawabnya.
Tinggal di tengah masyarakat yang memiliki norma, aturan, hingga adat-istiadat yang mengakar kuat.. di sebagian besar daerah bahkan masih kental dengan budaya patriarkinya. Yang kadangkala memberatkan pertimbangan, dan bagi perempuan, bercerai bukanlah sesuatu hal yang mudah. Tak pernah benar-benar menjadi keputusan yang ringan.
Penilaian negatif acap dilemparkan pada perempuan dengan status single parent. Berbagai label hingga sebentuk prasangka pun menghampiri. Seolah-olah keputusan yang diambil adalah jejak aib seumur hidup tanpa mengerti bekas luka seperti apa yang tengah berjuang untuk disembuhkan.
Tak ada yang bisa menebak jodoh, bahkan jalan hidup seseorang. Kadangkala, perceraian hanya pertanda bahwa skenario lain tengah menanti di ujung sana. Siapa yang tahu?
Ada yang menikah bertahun-tahun, merekatkan kesamaan, memaafkan kesalahan, untuk terus menjaga pernikahan bisa berjalan baik tanpa harus menutup kisah sesingkat mungkin.
Ada yang menikah baru seumur jagung kemudian memilih untuk menyudahi perjalanan, sebab sadar tak searah, sebelum tersesat lebih jauh dan tenggelam semakin dalam.
Ada yang memilih melepaskan diri setelah dirasa cukup lama menerima tindakan abusive, sebab di saat itulah kekuatannya telah mencapai batas untuk bisa kembali menambal luka lagi dan lagi.
Ada banyak alasan untuk bertahan. Tetapi juga ada banyak sekali alasan untuk menuju perpisahan.
Betapa pernikahan jauh lebih kompleks dari berbagai teori yang didengung-dengungkan. Di dalamnya dibutuhkan kesadaran dan upaya dua orang. Bersama-sama menghimpun kekuatan dan kepercayaan dalam mengemban amanah. Bersama-sama untuk terus memperbaiki diri dalam menjadi lebih baik.
Pernikahan menjadi fase kehidupan dengan berbagai bentuk ujian di dalamnya, dari pasang surut, naik dan turun, sejak awal menikah hingga berpuluh tahun mampu terlampaui, setiap pasangan melalui ujiannya masing-masing. Tak ada yang benar-benar melenggang ringan tanpa bumbu-bumbu pernikahan yang menghampiri keduanya.
Ada yang suaminya baik, ia diuji oleh pihak keluarga. Ada yang keluarganya baik, ia diuji oleh pasangan sendiri. Ada yang hubungan dengan pasangan baik, mertua baik, keluarga baik, tetapi anak-anak di dalamnya bermasalah. Ada yang financialnya oke, tetapi belum dianugerahi keturunan. Ada yang hidup pas-pasan, tetapi kelahiran beruntun menjadi kebahagiaan tersendiri.
Terus menerus ujian yang ada menjadi bingkai dalam menjalani hidup. Bahwa pernikahan yang menyatukan dua orang, dua keluarga, sejatinya adalah tempat belajar dan menempa diri. Bukan tempat untuk berleha-leha. Bukan tempat untuk menjanjikan kebahagiaan, beroleh kesenangan, tanpa adanya proses bersakit-sakit terlebih dahulu.
Harus ada perjuangan, disertai pengorbanan! Tak bisa satu pihak, harus kedua pihak.
Menikah adalah ladang ibadah, namun kehendak untuk melakoninya saja tak cukup tanpa didasari ilmu. Setelah berilmu pun tak berhenti jika keberkahan ilmu yang dimiliki ternyata belum mampu mengayomi diri dan orang yang diimami. Jika setiap kita akan bertanggungjawab atas apa yang dipimpin. Maka suami bertanggungjawab atas kepemimpinannya di dalam rumah tangga. Seorang istri juga bertanggungjawab atas peran-perannya yang tak teruntai secara sederhana.
Tetapi bagaimana jika pasangan yang kita harap mampu membimbing menuju pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, ternyata gagal menjalankan hakikat 3P yakni sebagai "pelindung, pembimbing, sekaligus pemimpin?"
Alih-alih, ia justru menjadi penghancur bagi istri yang seharusnya diayomi beserta anak yang semestinya beroleh figur ayah yang tak kurang mencurahkan waktu dan perhatiannya?
Mitsaqan ghalizha tak lagi menjadi ikatan utuh dalam menjaga perjanjian kokoh yang disaksikan Allah dan para malaikatnya..
Oleh sebab itu, kendati perceraian sesuatu hal yang dibenci Allah, tetapi ia halal.
Karena engkau berhak berbahagia. Engkau pantas memutuskan rantai yang terlalu lama menjadi pasung dalam hubungan yang tak sama sekali sehat.
Bukan berarti gagal menjadi baju bagi pasangan. Tetapi sakinah mawaddah, dan warahmah selamanya tak bisa dicipta seorang diri. Melainkan berdua. Harus ada kesadaran, usaha, dan keikhlasan untuk bersama-sama dalam meraihnya.
Dan, betapa memilih suami menjadi perkara yang tak boleh dianggap sepele. Sebab jika salah memilih, maka penyesalannya tersisa di airmata yang tak henti berderai setelahnya.
Islam menganjurkan beberapa kategori tatkala hendak memilih calon suami. Yakni untuk memilih yang agama dan akhlaknya paling baik. Perhatikan pula bagaimana interaksinya dengan lawan jenisnya. Bagaimana sikapnya kepada ibu dan saudari perempuannya, juga orang-orang yang berada di bawahnya. Sebaiknya pilih yang memiliki prinsip, bukan plin-plan, apalagi tak tegas dalam menentukan sikap.
Dan, tak ada salahnya melalui proses ta'aruf yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan diperantarai orang-orang yang kita yakin jujur dan amanahnya.
Terlepas dari itu, ada hal yang tak boleh terlupa. Bahwa kita tak bisa mengutak-atik rencana Allah, juga maksud baik apa yang terselip dari setiap kejadian yang terjadi.
Jika ternyata setelah melalui proses demi proses baik, tetapi kemudian orang yang dipilih gagal menjalankan tugas dan fungsinya sebagai suami.. maka kembali lagi pada iradah Allah. Manusia sebatas melakoni saja.
Betapa terkadang, cover memang tak selamanya menjamin isi. Dari keluarga baik-baik atau tidak, tak selamanya menjamin kualitas pribadi seseorang. Ada yang jadi baik walau bertumbuh dari keluarga yang gagal. Ada pula yang gagal menjadi baik, walau bertumbuh dari keluarga ideal, baik secara garis keturunannya maupun lingkup pendidikannya.
Pun setidaknya, setiap kita bisa lebih bijaksana menyikapi problematika yang melanda biduk seseorang yang mungkin kita kenal.
Tak melulu memang, tolok ukur mengenai bibit, bebet dan bobot menjadi jaminan bahwa setelah menikah.. kehidupan yang diekspektasikan akan berjalan baik sebagaimana mestinya. Toh, manusia memang hanya disuruh berikhtiar. Berupaya sebaik mungkin. Ketentuan akhirnya, mutlak iradah Allah.
Lagi dan lagi, manusia bisa berencana tetapi hasil akhir Allah pula yang menentukan. Ada iradah Allah dalam pertemuan, maka ada iradah Allah pula dalam tiap perpisahan.
Jika dengan bersama menambah luka, menjauhkan hakekat berumah tangga sebagai ladang beribadah dan meraup ridha Allah bersamanya, semoga perpisahan bukan langkah yang memutus diri untuk bisa terus melangkah dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi setelahnya.
Perceraian tak pernah menjadi sesuatu hal yang mudah bagi perempuan, terlebih jika ia seorang muslimah dengan amanah anak. Akan tetapi semoga Allah sembuhkan setiap luka. Menuntun pada jalan-jalan kebaikan yang tak berkesudahan. Mengokohkan jati diri sebagai seorang ibu yang pantas berbahagia lahir dan batinnya, agar bisa mengemban amanah dalam membesarkan buah hati tercinta tanpa beruntun luka dan sepenuhnya bersuka cita.
Karena terkadang,
Kita hanya bertemu orang yang salah. Sebelum sungguh-sungguh dipertemukan dengan orang yang tepat.
Jangan berhenti yakin. Jangan menyerah. Pun, terus melangkah :) Postingan ini, terinspirasi dari seseorang yang kukenali di dunia maya. Semoga Allah bimbing senantiasa, dikuatkan, dan selalu dalam perlindungan-Nya. Aamiin.
___________________________
Magelang, 31 Mei 2021
copyright : www.bianglalahijrah.com
2 Komentar
Ikut nyimak, Mbak.
BalasHapusHehee, masih syok ya Mbak. Mereka masih muda. Latar belakang keduanya sama-sama baik, walau yang satunya muallaf. Tetapi rencana Allah tak ada yang bisa menerka. Kita cukup mendoakan, apapun jalan yang mereka ambil insyaa Allah sudah yang terbaik dari Allah buat keduanya. Iman dan Islam semoga tetap mengiringi langkah mereka senantiasa. Aamiin. Deep reminder untukku pribadi. Betapa rumah tangga adalah universitas kehidupan yang penuh dinamika sekaligus pembelajaran berharga. Masih banyak PR :')
HapusAssalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)