Tak Mengapa, Gelar Sarjana Tetapi Memilih Berkhidmat Sebagai Ibu Rumah Tangga
Image source : Suara Muslim |
Ya.. karena ada beberapa yang memang sengaja menunda memiliki anak, secepat kilat usai berbulan madu. Adapula yang karena faktor kesuburan atau memang belum wayahe dipercayakan keturunan oleh-Nya. Setelah beranak satu pun, masih muncul pertanyaan "Kapan nambah anak?" padahal rasa sakit di ruang bersalin masih membekas di benak ibu.
Eh sekalinya nambah anak beneran, ndilalah kok rapat dengan jarak terpaut dekat, maka berakhir lah pada sindiran "Nambah anak muluk, kasihan kasih sayang ke anak jadi nggak maksimal karena kesundulan terus."
Duuhh, kalau mau mengikuti apa kata orang seolah hidup kita ada saja plus minusnya walau yang paling sering disorot tentu saja minusnya. Untuk membedakan komentar julid dan peduli pun seperti setipis benang ya. Ada yang terlihat peduli padahal aslinya cuma pengen kepo doang.
Intinya, memang mau bagaimanapun kita.. di mata manusia akan selalu saja ada kurangnya.
Jadi woles saja lah, jangan biarkan orang lain mengeruhkan kejernihan niat dan keikhlasan yang sudah terpatri di dalam dada untuk orang-orang yang dicintai. Termasuk pula ketika pertanyaan "Udah sarjana kok masih di rumah? Nggak mau kerja?"
Padahal pertanyaan yang mereka layangkan jelas bersifat prinsipil ya. Hak setiap perempuan yang ketika setelah menikah tetap menyisihkan waktu belajar di bangku perguruan tinggi. Haknya pula jika setelah gelar sarjana diperoleh, tetapi berkhidmat di rumah menjadi pilihan demi bisa ngabdi ke suami dan full time nandur manfaat di dalam keluarga sendiri.
Bagiku, kuliah adalah ajang mengasah diri untuk terus berkecimpung dalam ruang belajar. Niatnya murni bertholibul 'ilmi. Sejak awal pun, tak ada keraguan atau kebimbangan untuk urusan berkarier di luar rumah setelahnya. Karena memang azam sedari awal sudah jelas dan kuat, anak-anak dan suami jauh lebih membutuhkan peran diri.
Paling tidak, anak-anakku langsung dibimbing dan dididik oleh ibu mereka yang telah sarjana. Bukan dari tangan baby sitter atau pembantu yang rata-rata berpendidikan di bawah itu. Tentu saja ini bukan dalam maksud mengecilkan peran orang lain, sama sekali tidak. Tetapi semacam perenungan bagi para ibu. Penting untuk tetap menempa diri dalam ruang ilmu. Baik formal maupun informal. Entah itu di bangku perkuliahan atau dengan rutin menghadiri kajian.
Dan adil kah? Tatkala kita mendidik anak orang lain, sibuk berkhidmat bagi ummat, tetapi anak sendiri tidak dalam pengawasan kita sebagai ibu. Tak sadar ketika waktu tersebut sebenarnya lebih banyak mengurangi kehadiran diri di tengah-tengah keluarga. Apalagi jika merepotkan orangtua yang di usia senja masih sibuk momong putu (cucu).
Aku anak yang besar dari pengawasan nenek karena Emma juga termasuk wanita karier. Etta lebih banyak menghabiskan waktu di kebun kelapa. Tahu betul bagaimana rasanya ketika peran orangtua yang dibutuhkan terasa begitu langka ada di rumah. Karenanya keputusan menjadi ibu rumah tangga bukan sesuatu yang patut disesalkan bagiku.
Justru terasa sekali manfaat dan kepuasannya.
Tatkala bisa melihat langsung lelah suami sepulang bekerja dan menjadi teman berbagi. Ketika menjadi orang yang pertama kali menyaksikan pertumbuhan si kecil yang memberikan banyak kejutan-kejutan luar biasa setiap harinya. Dari awal mula bisa mengoceh, merangkak, bertepuk tangan, duduk, belajar jalan, memanggil nama orangtuanya dengan panggilan "ayah atau ibu" dan masih banyak lagi.
Jelasnya, gelar sarjana diperoleh berangkat dari motivasi "Sebab mendidik anak memerlukan ilmu yang tak sedikit."
Soal karier, aku meyakini bahwa tetap akan ada masanya nanti. Ketika anak-anak sudah besar, sudah mandiri, waktu mereka juga lebih banyak terforsir di sekolah maupun aktivitas lain di luar rumah. Saat itu, barangkali memiliki kesibukan lain selain berkutat di rumah akan menjadi alternatif untuk keluar.
Saat itu lah, ilmu yang ditempa ketika belajar tak hanya menjadi bekal dalam mendidik anak. Tetapi bermanfaat pula bagi ummat. Siapa bilang jadi ibu rumah tangga berarti tak berdaya sama sekali bagi kemaslahatan ummat? Salah besar. Ada banyak ranah dan wadah untuk menyalurkan kebermanfaatan diri yang tetap bisa diberikan bagi ummat dan bermula dari rumah. Terutama lingkup masyarakat sekitar.
Lah wong mendidik satu anak laki-laki sama dengan mendidik calon pemimpin di kemudian hari. Mendidik satu anak perempuan sama dengan membangun pilar peradaban yang jika bisa dibilang, segala sudut aspek kehidupan ini tak lepas dari peran perempuan terlebih seorang ibu.
Apalagi, sudah menjadi fitrah muslimah untuk diam di rumah, tetapi bukan pula hambatan untuk bisa mengejar mimpi di luar sana. Jadi berkarier atau ngabdi di rumah, seharusnya bukan semacam tolok ukur apalagi pacuan kuda untuk siapa yang harus menjadi lebih dari sesiapa. Kita semua berjuang dengan ladang jariyah masing-masing.
Setiap orang hebat dengan ranahnya sendiri.
So, semua memang ada waktunya. Ditempatkan sesuai porsi semestinya.
Ketika memilih karier di luar rumah berarti harus rela melepas banyak waktu membersamai keluarga dan melihat tumbuh kembang anak-anak. Ngabdi di rumah berarti harus legowo dengan kehendak diri untuk melebarkan sayap di luar rumah. Tetapi bukan menjadi hal mustahil bagi seorang ibu untuk tetap berperan lebih bagi ummat kendati berprofesi sebagai full time mom at home.
Tinggal pikirkan ranah dan wadahnya, hal positif apa yang bisa kita upayakan untuk menebar kebermanfaatan diri tanpa melepas fitrah maupun peran di rumah. Kalau soal bermanfaat bagi ummat, insyaa Allah tetap bisa terhandel kok walau katanya cuma ibu rumah tangga. Kalau alasan menambah penghasilan, bukan kewajiban seorang istri untuk mencari nafkah. Nrimo ing pandum, maka apa yang dibawa pulang suami pun insyaa Allah mencukupi.
Terlebih, ada banyak ibu rumah tangga yang bisa membuktikan diri dengan tetap memiliki penghasilan tambahan dan semua dimulai dari rumah :)
Terlebih, ada banyak ibu rumah tangga yang bisa membuktikan diri dengan tetap memiliki penghasilan tambahan dan semua dimulai dari rumah :)
Kalau ditanya mengapa lebih memilih full time di rumah, ya karena saat ini, waktu yang paling tepat adalah fokus di keluarga. Ngabdi ke suami, membersamai balita dan batita nantinya. Tak ada istilah eman-eman untuk gelar begitupun ijazah karena hanya berkutat sebagai ibu rumah tangga. Lah, kalau niatnya memang murni untuk menunjang karier dan beroleh pekerjaan mapan, tentu saja lain cerita. Jelas berkiprah di rumah bukan alternatif utama, sekalipun setelah berkeluarga.
Jadi balik lagi ke individu masing-masing.
Toh, tiap orang punya alasan dan tujuan tersendiri yang tak bisa dihakimi oleh siapapun.
Sabtu lalu, seorang teman liqo bercerita tentang keputusannya untuk resign sementara dari profesi sebagai dosen. Tak ada gurat sesal untuk gelar S2-nya dan profesi budos yang tentu saja membesarkan namanya. Disusul pula teman lain yang juga sudah ancang-ancang dalam pengunduran diri sebagai guru taman kanak-kanak menjelang kelahiran anak pertamanya. Alasan mereka sama; sementara ini lebih memilih untuk full time mom at home dan membersamai buah hati.
Tetapi tak menutup kemungkinan jika nanti, tatkala masanya tiba, kami tetap berkhidmat di luar rumah dan mentransfer ilmu yang dimiliki.
Terpenting, suami ridho [rida]. Diri sendiri ridho dengan segala sesuatu yang dijalani saat ini. Semata Lillah.
Berkiprah di rumah atau di luar, semua hanya persoalan waktu dan keputusan untuk memilih mana yang lebih harus didahulukan dalam skala prioritas dan kewajiban diri sebagai istri sekaligus ibu. Kita lah yang lebih tahu, mana yang benar-benar sesuai dan mana yang sungguh-sungguh lebih diperlukan saat ini. Bukan semata mengikut ego atau semacam pembenaran untuk diri sendiri.
Entah akan berkarier atau menjadi ibu rumah tangga seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas. - Dian Sastrowardoyo
Pada akhirnya.. setiap ibu luar biasa kok, istimewa dengan cara masing-masing. Semoga bermanfaat :)
______________________________
Magelang, 2 Desember 2019
Copyright : @bianglalahijrah
8 Komentar
Gelar sarjananya akan lebih mulia untuk mendampingi dan mendidik anak-anak berakhlak mulia
BalasHapusBetul, Mbak. Bukan semata demi tercapainya karier di luar rumah. Soal kemandirian, banyak kok ibu rumah tangga yang tetap bisa berpenghasilan lebih walau hanya dari rumah. Thanks for blogwalking :)
HapusBagus banget tulisannya mba... menjadi penambah semangat sebagai s.a.h.m
BalasHapusMasyaa Allah, barakallah untuk semua ibu yang mendedikasikan hidupnya teruntuk keluarga. Stay at home, Lillah :)
HapusAlhamdulillah, semoga bermanfaat ya.
Gelar sarjananya sebagai bekal mendampingi anak ya, mba. Soalnya, dulu Ibuku nggak tau kuliah itu apa dan gimana. Jadi, kalau pas dosen baru ada jam 1 siang. Otomatis berangkat siang. Beliau akan berang karena dianggapnya sekolah main-main. Menjelaskannya pun benar2 butuh proses sampe allhamdulillah sekarang udah paham gimana metode belajar di jenjang kuliah itu
BalasHapusIya, sementara fokus di rumah. Karena prioritasnya ke anak-anak dulu. Bagaimanapun, entah memilih tetap di rumah atau pun berkarier, terus belajar adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Apalagi melahirkan anak-anak di era digital seperti ini, di zaman yang apa-apa berkembang maju dengan pesat. Jika kitanya tak tahu menahu, bagaimana akan memfilter anak-anak terhadap hal negatif yang datang? Paling tidak, pentingnya ilmu pengetahuan baik itu ditempuh secara formal atau non formal menjadi tantangan tersendiri bagi setiap perempuan setelah menikah apalagi jika sudah menjadi seorang ibu. Thanks for blogwalking ya :)
HapusMasyaAllah, serasa perwakilan diri tulisannya mba. Jazakillah mba. Semangat terus menulisnya
BalasHapusAlhamdulillah, aamiin aamiin. Terima kasih sudah berkunjung :)
HapusJangan bosan main ke sini hehe
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)