Empat Hari di Rumah Sakit
Masih jelas gambaran, sewaktu berlari ke arah suara teriakan suami yang panik meminta pertolongan pada tetangga. Aidan berada dalam gendongan, lemas, dengan wajah membiru. Tak hanya pucat pasi. Sesaat dikerubuni para tetangga, kami pun langsung membawa Aidan ke Puskesmas terdekat untuk mendapat pertolongan secepatnya. Suami semakin panik, cemas, barangkali perasaan kami sama. Tatkala melihat ananda terkulai pingsan dan tak juga membuka mata kendati dikerubuni beberapa tenaga kesehatan beserta dokter anak yang sejak awal terus memeriksa denyut nadinya.
Dalam waktu singkat, sesuai rujukan dari Puskesmas, siang sebelum dzuhur tanggal 17 Juli. Aku dan Aidan mendarat di IGD rumah sakit terdekat. Suami menyusul di belakang, sembari mengabari beberapa anggota keluarga. Selang oksigen terpasang, berikut infus di tangan kiri Aidan. Gemetar melihat ananda kesakitan. Kami belum pernah melalui hal semacam ini. Mengingat Aidan tak memiliki riwayat kejang sebelumnya. Aku sendiri, dari persalinan normal hingga saat menghadapi keguguran karena Blighted Ovum, semua tak dilalui di rumah sakit. Rasanya aneh melewati malam pertama dengan perasaan sulit tidur sembari terus memantau kondisi Aidan.
Empat hari di rumah sakit, ditemani para perawat beserta dokter anak yang ramah. Hamdalah, Aidan antusias untuk sembuh agar segera pulang. Soal makan dari sejak siuman di ruang IGD ia langsung meminta makan dengan syarat ikan lele sebagai lauknya. Salah satu kelebihan Aidan sejak dulu, ia tak pernah rewel soal makan. Kendati tengah sakit sekalipun, kami tak perlu susah payah memintanya menelan makanan. Aidan tetap makan seperti biasanya.
20 Juli, kami diperbolehkan membawa Aidan pulang. Kondisi Aidan pun jauh membaik. Tak hanya demam yang turun tetapi juga diare yang berkurang. Lapang nian ketika menyusuri perjalanan pulang yang biasa dilewati, hanya saja terasa agak asing. Seolah kali pertama kami kembali dari bepergian jauh. Barangkali pula karena selama di rumah sakit, kami tak beranjak dari kamar ruang inap, atau memang demikianlah perasaan umumnya ketika keluar dari rumah sakit dengan rasa lapang di dada.
Hanya saja, justru ketika tiba di rumah suara-suara sumbang mulai menyentil perasaan. Trauma ketika melihat ananda kritis di depan mata seperti tak sama sekali beroleh toleransi dari lisan-lisan tajam yang tega menambah luka. Baru beberapa hari yang lalu kami berjuang bertiga untuk melewati masa kritis bersama. Tetiba sampai suara sumbang yang mengkambing hitamkan peran ibu.
Mereka tak tahu. Ketika ananda jatuh sakit, setiap ibu akan menghukum diri sendiri. Sesal, kalut, cemas, khawatir, takut, sedih tak berkesudahan, semua menyatu. Tetapi acap kali, masih banyak lisan yang tak bisa menjaga perasaan orang lain. Bahkan ketika batin seorang ibu masih memerlukan waktu untuk sembuh.
Tak ada ibu yang sempurna di dunia ini. Tetapi setiap ibu berjuang mati-matian, sepenuh hati, untuk belajar menjadi sebaik-baik ibu. Belajar untuk mengenyampingkan ingin sendiri dan memprioritaskan orang lain di atas dirinya. Belajar untuk menahan amarah dan tangan yang gemetar begitu hendak melayang, namun setelahnya menangis bersama tangisan sang anak.
Tak ada ibu yang sempurna di dunia ini tetapi bukan berarti ia tak becus. Ia berjuang, ia berusaha, ia belajar, ia mencoba, ia terus melawan batas untuk memberi lebih dan lebih. Jangan jatuhkan dia, dengan merendahkan perannya. Tak ada ibu yang sempurna tetapi bukan berarti ia tak berguna.
Itu yang kurasakan persis, ketika menulis caption di atas pada postingan Instagramku. Sampai hari ini, tak perlu mereka susah payah menjudge tugas seorang ibu. Ketika mereka sendiri tak berada di masa-masa sulit kami. Tak memudahkan peran kami tatkala mengasuh anak. Tak ikut andil untuk memenuhi kebutuhan ananda kami. Mereka hanya mencoba mengerdilkan peran orang lain untuk menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya. Mungkin, hanya dengan mencubit orang lain mereka menganggap diri mereka telah jauh lebih baik. Hanya dengan mengecilkan orang lain, mereka merasa telah maju ke depan.
Jika memang demikian, semoga mereka puas dengan perbuatan mereka.
Setidaknya, aku belajar satu hal. Jika tak bisa meringankan beban orang lain, paling tidak.. jaga lisan dari kebiasaan berkomentar yang tidak-tidak. Jaga lisan untuk tak bermudah-mudah menyakiti perasaan siapapun. Jaga lisan, untuk tak selalu latah membicarakan hal yang sama sekali di luar pengetahuan diri. Apalagi sekedar angkat suara tetapi tak tahu kebenarannya.
Kadang, tatkala berada di masa-masa sulit, siapapun itu.. kita tak memerlukan banyak komentar ini dan itu kecuali pengertian. Kecuali, sedikit ruang tanpa argumentasi apapun.
Kita tak pernah tahu bukan? Tajamnya lisan bahkan meninggalkan luka basah yang tak sembuh dengan mudah. Mari belajar untuk menahan diri, menahan lisan, menjaga hati sendiri dari perkara-perkara dengki. Self reminder, salah satu hikmahnya ialah pembelajaran untuk tak mudah latah ingin mengomentari kehidupan orang lain.
.
Alhamdulillah, ananda kami telah pulih kembali. Tak ada ujian tanpa hikmah dari-Nya. Allah pasti tengah mempersiapkan sesuatu hal yang jauh lebih baik dari beberapa kesulitan yang menguji kami belakangan ini. Jika segala sesuatu terjadi hanya atas izin Allah, semoga hilang segala ragu beserta khawatir dalam dada. Sebab hidup kita Allah yang menggerakkan, akan bagaimana dan ke mana akhirnya, Allah punya kehendak. Semoga kebaikan, keselamatan, keberkahan, kesehatan, pun kebahagiaan, yang senantiasa memayungi hingga nanti dan seterusnya. Aamiin yaa mujibassailin.
______________________________
Magelang, 24 Juli 2019
Image source : Google Picture
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)