Menulis : Berproses
Bismillah, melawan rasa kantuk dan moody ketika memaksakan diri untuk duduk di depan laptop dan menulis. Dulu, dari zaman masih bocah sampai terakhir kali tahun 2013 sepertinya, aku masih menggunakan buku diary untuk menulis segala sesuatu yang menjadi uneg-uneg. Kalau tak salah dari kelas tiga Sekolah Dasar aku sudah punya buku catatan harian yang dibeli dari toko dekat rumah.
Setelah menikah, aku masih terus konsisten menulis di buku diary. Karena itu suami membeli berbendel-bendel buku catatan harian. Dengan begitu aku tak akan merengek minta dibelikan lagi ketika diary telah terisi penuh. Bisa dikatakan kebiasaan menulis di buku diary telah berkurang. Hanya catatan yang benar-benar penting saja yang masuk ke sana. Saat ini, aku lebih memilih menulis di blog sembari berbagi dengan pembaca.
Dengan menulis di blog ada banyak sekali manfaat yang didapat. Kebaikan yang singgah di depan mata tak berhenti pada diri sendiri, aku bisa langsung membaginya dan dibaca oleh orang lain. Hanya saja, blog berbeda dengan diary. Di diary kamu bisa menuang apa saja tanpa sungkan, tanpa takut orang lain akan mengetahui rahasiamu. Toh itu benar-benar bersifat privasi. Personal banget.
Sementara di blog, dari memilah-milah kata, secara tak langsung aku juga memanage isi hati dan pikiran ketika berhadapan dengan layar dan siap menulis. Sebisa mungkin tak semua hal yang memang tak perlu dibagi, akan kusaring terlebih dahulu. Kecuali, jika memang hal itu akan memiliki manfaat bagi orang lain yang membacanya. Atau seperti saat sedang menulis refleksi bagi diri sendiri.
Alhamdulillah, hampir delapan tahun menjadi blogger. Awal ngeblog postingan hanya berupa puisi dan cerpen yang ditulis amatir. Semakin hari, banyak hal yang telah mematangkanku dalam menulis. Barangkali karena terbiasa menulis, seringnya menulis, didukung pula dengan referensi bacaan. Jika dihimpun berapa judul buku yang telah kubaca sejak anak-anak, remaja, hingga kini, barangkali tak hanya berjumlah ratusan judul. Ribuan mungkin. Yang jelas, telah lebih dari 1000 buku yang terbaca di usia yang nyaris menginjak 25 tahun ini.
Kalau ngintip postingan lawas, terus bikin perbandingan dari masa ke masa, tampak sekali bahwa bukan hanya penulisnya yang berproses di balik itu. Tetapi tulisan itu sendiri juga kian bermetamorfosa menemukan ruhnya, menemukan ciri khasnya. Suami selalu menjelaskan ini, dia bilang aku memiliki ciri khas tersendiri dalam menulis. Bahkan saat menulis buku yang kusebut novel, ciri khas itu tak menghilang begitu saja. Menurutku, suami berkata demikian karena sekian tahun dia setia menjadi first reader untuk karya istrinya. Suami yang juga bertindak sebagai komentator plus editor, memberi masukan bagian mana saja yang harus diperbaiki. Ditambal atau dipangkas. Jadi, suami tentu saja paham dengan baik kemajuan apa saja yang dialami oleh sang istri dalam menulis.
Bagaimanapun aku menulis dan tulisan yang kuhasilkan, yang tahu seperti apa cita rasanya adalah pembaca. Aku hanya menuang isi kepala dan berbagi aspirasi. Apa yang dirasakan pembaca, yang sampai kepada mereka, maka pembaca sendiri yang tahu dan memiliki kemudi untuk apa yang mereka pikirkan kemudian. Aku hanya berharap, semoga apa yang kutulis tak hanya sekedar lahir menjadi sebuah karya tulis yang lantas menjadikanku seseorang yang disebut penulis. Lebih dari itu, aku ingin berdaya. Bermanfaat. Memberi arti lebih dari apa yang telah kutulis. Sejak awal, menulis bagiku adalah ladang jariyah. Menanamnya di dunia, panennya di akhirat. Insyaa Allah.
Beneran deh, kalau menilik progres tulisanku dari tahun ke tahun ada perbedaan yang tampak. Menjadi semakin matang mungkin. Aku sendiri merasakan itu. Kemarin dulu, sempat punya niat untuk mengedit semua postingan blog dari awal agar isinya benar-benar rapi dan tampak profesional. Tetapi niat itu harus kuurungkan. Mengapa? Sebab jika aku benar-benar mengedit semua postingan, aku sama saja akan menghilangkan jejak dari prosesku sendiri. Bagaimana aku pernah memulainya, bagaimana aku belajar dan berproses untuk membenahi lebih baik, hingga menjadi kian matang. Lebih luwes tentunya.
Jadi, aku sengaja membiarkan postingan lawas sebagaimana mestinya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Biarkan mereka tampak secara jujur. Biarkan orang lain menilai bagaimana aku dan blog "Bianglala Hijrah" berproses terus menerus dari masa ke masa.
Delapan tahun menggeluti dunia literasi, sebelum menelurkan karya berupa buku aku lebih dulu menulis di buku harian. Kemudian menulis di blog sebagai tangga awal yang memulai jalanku untuk terus menulis dan menerbitkan buku.
Apa ada hal yang tak mengenakkan selama ini?
Jawabannya, ADA. Tentu saja ada.
Beberapa tahun lalu, postingan yang kutulis di blog sengaja diplagiat oleh beberapa orang tak bertanggung jawab. Just sharing sih nggak masalah. Tetapi kalau mencopas keseluruhan tanpa mau menyertakan sumber, barangkali niatnya telah berbeda. Pun, sampai sekarang aku masih mendapati hal itu. Bedanya, sekarang jauh lebih woles. Kalau dulu langsung nyatronin si pelaku plagiat tanpa tedeng aling-aling, nah sekarang.. aku cukup memantau. Toh sesuatu yang tak dihadirkan secara jujur hanya akan berumur pendek.
Lagi pula, keuntungan apa yang didapat dari mengakui hasil karya orang lain? Kekaguman manusia? Well, itu semua nggak abadi. Pujian manusia itu semu, hari ini bisa dipuji kapan waktu bisa saja akan dicaci. Manusia itu hatinya mudah berbolak-balik.
Jadi point terpentingnya adalah belajar untuk jujur, minimal pada diri sendiri. Agar kita tak terbiasa menipu diri :) So, terinspirasi dengan plagiasi memang berbeda. Jelas berbeda.
Hanya saja aku sendiri kemudian berpikir dan sepakat dengan ini, orang lain mungkin bisa saja mencuri tulisanmu, tetapi tidak dengan apa yang ada di dalam isi kepalamu yang setiap saat meletup-letup ingin disuarakan segera. Ada yang tak bisa orang lain ambil dengan atau tanpa sepengetahuanmu, yaitu IDE beserta ILHAM ketika kamu mulai menuliskan sesuatu. Sebab setiap penulis memiliki ide dan ilhamnya sendiri. Barangkali tema yang diangkat bisa saja sama, tetapi bagaimana hasil dan proses eksekusinya lah yang menjadi pembeda. Sama tetapi tak serupa. Atau serupa tetapi jelas tak sama :)
Menulis itu berproses memang, tak serta merta bisa atau lihai. Sebab nyatanya menulis tak sepenuhnya dipengaruhi bakat, atau orang bisa menjadi penulis karena memang berbakat untuk itu. Menulis justru lebih didukung dengan seberapa sering kita berlatih dalam menulis. Seberapa banyak kita menulis, mengasah skill menulis, pun seberapa haus kita untuk membaca. Karena menulis dan membaca adalah dua dunia yang tak bisa dipisahkan. Ini sungguh.
Sampai di sini, untuk usia "Bianglala Hijrah" yang akan menginjak delapan tahun. Semoga semakin baik, lebih banyak lagi karya bermanfaat yang sampai kepada pembaca. 2019 ini satu persatu buku terbaru juga terbit menjadi jendela sekaligus jembatan untuk banyak kebaikan di waktu seterusnya. Aamiin insyaa Allah ^_^
Cooming soon, tabarakallah.
________________
Magelang, 22 Maret 2019
copyright : @bianglalahijrah
[Image Source : Google Pinterest]
4 Komentar
makasih sharingnya
BalasHapusSama-sama, mbak :) terima kasih sudah berkunjung
Hapusaku terakhir ngalamin nulis diary itu sebelum nikah rasanya. setelah nikah, ternyata lebih asyik cerita ama suami. tapi belakangan, ternyata kalo cerita nggak ada bukti yang bisa diceritain ulang. jadilah mulai nulis diblog.
BalasHapusSetuju, bund. Selain blog, suami seringnya jadi diary tak bergembok hihihi. Sebenarnya rindu menulis di diary lagi, tetapi menulis di blog juga cukup efektif. Selain itu kita bisa langsung berbagi sesuatu hal baik kepada pengunjung blog lewat tulisan :)
HapusTerima kasih sudah berkunjung, bunda :-*
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)