Menikahlah, Hanya Jika Engkau [ ... ]
Pernah ada beberapa remaja yang bercerita soal kekagumannya pada kami. Menurut mereka pernikahan yang kami jalani seakan tanpa masalah. Seperti masih berpacaran. Bahkan salah satu di antara mereka dengan terus terang berkata bahwa ingin mengikuti jejakku, menikah muda setelah lulus sekolah.
Benarkah kami tampak demikian? Padahal kenyataan di dalam rumah tangga tidaklah sama dengan apa yang sekedar tampak dari luar.
Selama di usia pernikahan yang sudah menginjak angka lima, ada banyak sekali adegan percekcokan yang mewarnai kehidupan kami. Ada banyak aksi adu urat, saat tak satu pun dari kami hendak mengalah.
Banyak masa-masa sulit yang juga pernah membuat kami saling menepis satu sama lain. Masing-masing saling melempar kesalahan tanpa mau memberi ruang untuk bermuhasabah. Saat kami hanya tersesat dari komitmen yang pernah kami bangun bersama.
Jadi kalau ada yang menilai bahkan menganggap kehidupan pernikahan kami demikian indah dan mudah, maka alhamdulillah. Semoga hingga seterusnya, tak hanya dalam penglihatan orang lain. Tetapi dalam kehidupan rumah tangga kami yang sebenarnya.
Walau berumah tangga tentu takkan pernah lepas dari bumbu-bumbu pernikahan.
Entah itu problem internal maupun eksternal. Sepanjang pernikahan akan selalu ada problematika yang mewarnai hari demi hari. Baik itu dari masalah kecil maupun besar.
Aku bersyukur sebab suami bisa menghadapi karakterku. Bisa dibilang ia memang cukup sabar untuk menghadapi orang asing yang tiba-tiba ia sanding sebagai pasangan seumur hidupnya.
Mengapa sosok asing? Karena pernikahan yang kami jalani tak dimulai dengan perkenalan yang memakan waktu berbulan-bulan, apalagi tahunan. Hanya selang tak genap dari dua bulan usai pertemuan pertama, kami sama-sama memutuskan untuk menikah muda.
Namun tentu lebih banyak hal asing lagi yang aku hadapi. Baik itu tentang dia, keluarganya, terutama adat budaya setempat. Untukku yang lahir di Riau dan pernah besar di sana, kemudian pindah menetap di pulau Jawa setelah menikah, terbayang kan bagaimana sulitnya beradaptasi?
Apalagi memahami bahasa Jawa yang juga digunakan sebagai bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sampai hari ini aku masih bingung ketika berbicara dengan mertua. Kadang-kadang bahasa Jawa harus bercampur dengan bahasa Indonesia, saat tak tahu kosa kata apa yang pas untuk disampaikan.
Karena kata-kata yang diucapkan ketika berinteraksi dengan orangtua berbeda dengan bahasa Jawa harian. Bahasa yang umumnya digunakan saat berdialog pada orang sebaya atau yang jauh lebih muda darimu.
Membingungkan memang. Apalagi suami bahkan tak mengajariku langsung bagaimana cara hidup orang Jawa. Bagaimana keseharian mereka, cara mereka dalam bergaul, tradisi, dan lain sebagainya. Jadi mau tak mau aku benar-benar memasang mata dan telinga. Merekam apa saja yang ada di sekitar untuk kupelajari di dalam kepala.
Ternyata aku bisa beradaptasi dengan baik.
Ternyata aku bisa beradaptasi dengan baik.
Pernah ada yang memuji kalau aku bisa belajar dengan cepat dari apa yang ada di sekeliling.
Pernikahan itu memang pembelajaran seumur hidup. Bisa tak bisa, pada akhirnya kau akan tetap mampu melakoninya. Akan bisa jika kau mulai terbiasa. Jadi hadapi dan nikmati saja apa yang ada.
Meski setelah menikah ada berbagai ujian melanda, anggap saja itu bonus yang menghadiahimu kebaikan pada akhirnya. Bonus untuk semakin dewasa dan lebih bijaksana. Bonus untuk melihat kehidupan ini bukan hanya dari satu sudut pandang saja. Insyaa Allah.
Aku mencerna lagi pendapat seorang gadis tentang niatnya yang ingin menikah muda hanya karena melihat kami baik-baik saja. Ah, tak sesederhana itu sebenarnya. Karena tak semua hal yang kami angkat ke permukaan :)
Pernikahan itu bukan perkara main-main seperti orang yang berpacaran. Saat menyukai seseorang kau bisa menyatakan cinta lalu jadian, kemudian putus saat sudah merasa tak cocok lagi. Tak sesederhana itu. Sungguh.
Karena setelah menikah, mungkin akan berjalan indah pada mulanya. Semua baik-baik saja. Namun setelah bulan demi bulan terlampaui, bahkan hitungan tahun, semua dengan sendirinya akan berubah. Tetapi bukan berubah dalam arti buruk ya. Tentu mengarah pada kebaikan rumah tangga itu sendiri. Saat istri maupun suami sama-sama menyadari tugas mereka dengan baik. Pun mau bekerja sama dalam hal apapun untuk tujuan terbaik demi kehidupan mereka.
Setelah menikah kita akan mengemban amanah masing-masing yang jika dikatakan ringan, ternyata tidaklah semudah itu.
Seorang istri dituntut untuk cakap dalam tugas domestik di dalam rumah tangga. Memasak, mencuci, mengurus anak, dan banyak lagi pekerjaan lain yang jika dibayangkan saja memang tak ada habisnya. Full time dari bangun tidur sampai tidur lagi, begitu seterusnya. Rutinitas yang membutuhkan ketelatenan dan pengabdian yang lapang dada.
Seorang suami juga disibukkan untuk mencari nafkah, demi memenuhi kebutuhan hidup yang tentunya akan bertambah. Seiring tahun dengan jumlah anak yang melebihi keluarga berencana. Meski begitu, keluarga adalah segalanya.
Di lima tahun ini aku belajar banyak hal. Pernikahan indah yang penuh cinta seperti bayanganku dulu, ternyata memang tidak sesederhana itu. Kau masih harus berakit-rakit ke hulu, untuk bisa bersenang-senang kemudian.
Tetapi di baliknya tentu ada kebaikan yang kudapat.
Setelah menikah, kita belajar untuk jadi lebih dewasa dalam menjalani hidup. Belajar untuk jadi pasangan terbaik fii dunya wal akhirat. Belajar menjadi orangtua yang dapat mendidik anak-anak dengan baik. Belajar untuk memposisikan diri pada dua keluarga yang berbeda.
Belajar hidup yang sebenar-benarnya hidup.
Dan setiap waktu sungguh menjadi moment perbaikan dalam banyak hal. Setiap waktu adalah pembelajaran berharga. Setiap saat adalah proses yang tak henti-henti untuk tetap melangkah di jalan yang sama, agar lebih baik dan lebih baik lagi.
Meski di dalam pernikahan kadang kala ada pertengkaran. Walau sesekali engkau beradu argumentasi, walau sering kali engkau mengeluhkan hal sama setiap harinya. Tetapi yang pasti bahwa baik engkau maupun dia, tetap kembali di peraduan yang sama, meski tadinya sama-sama memunggungi. Kalian tetap akan berdamai usai percekcokan panjang. Tetap saling sapa dan melempar senyum ke satu sama lain. Tetap bercengkrama dengan ramah. Tetap tertawa dalam suka maupun duka.
Tetap memilih untuk saling membersamai. Meski terkadang lelah. Meski kadang terasa jenuh.
Tetap memilih untuk saling membersamai. Meski terkadang lelah. Meski kadang terasa jenuh.
Sebab pernikahan ialah tentang bertahan dan mempertahankan. Bahwa menikah adalah satu di antara jalan baik untuk tergapainya ridho Allah. Komitmen untuk berjuang dalam keadaan apapun. Komitmen untuk mencapai kebaikan, untuk beribadah, dan meraup keberkahan bersama-sama. Komitmen untuk berproses tanpa henti.
Menjadi baik, lebih baik, dan akan semakin baik setiap saat.
Menjadi baik, lebih baik, dan akan semakin baik setiap saat.
Pernikahan bukan permainan bongkar pasang. Saat engkau ingin, engkau membangunnya. Saat bosan, engkau menghancurkannya. Tidak sama sekali.
Untuk lima tahun yang belumlah seberapa, bagaimana dengan mereka yang telah puluhan tahun menikah? Hingga menutup mata di usia lanjut dengan bertahan untuk membersamai satu orang yang sama di sepanjang hidupnya?
Untuk lima tahun yang memang belumlah apa-apa. Tetapi terima kasih untuk semua hal yang menjadi guru berarti dalam proses yang kami lalui selama ini maupun hingga seterusnya.
Jadi, jika engkau benar-benar hendak menikah.. rindu menikah. Jangan berpikir bahwa pernikahan hanya akan menghadiahi sebuah kehidupan penuh cinta, kasih sayang, dan kesenangan semata tetapi tanpa perjuangan dan pengorbanan di dalamnya. Karena meski ujian setiap orang berbeda-beda, engkau akan tetap menerima ujian itu di dalam pernikahanmu. Dalam bentuk apapun.
Maka menikahlah saat kau merasa siap lahir batin untuk mengemban amanah yang akan kau pikul setelahnya. Menikahlah jika engkau benar-benar siap dengan segala konsekuensinya. Menikahlah setelah engkau benar-benar menemukan orang yang tepat untuk membersamaimu berjuang hingga akhir.
Menikahlah tanpa pernah berandai bahwa hanya sepaket cinta yang akan engkau nikmati di dalamnya, tanpa airmata dan kecewa. Sebab untuk membangun komitmen seumur hidup bersama sosok yang sama 'tak sempurna' sepertimu, bagaimana mungkin impian atau harapan yang utuh dapat senantiasa terwujud sesuai keinginan? Maka tentu ada waktu di mana kau akan menangis dan kecewa. Dan ada waktu juga ketika engkau bisa mewujudkannya.
Menikahlah, untuk kebaikan dunia dan akhiratmu. Karena Allah semata.
Semoga Allah mudahkan kami dalam mengemban amanah ini. Mudahkan engkau dalam menjemput amanah-Nya. Aamiin insyaa Allah.
Magelang, 10 Agustus
Copyright : @bianglalahijrah_
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)