Sungguhkah Kita Telah Merdeka?
Barangkali ini semacam rasa jenuh yang akhir-akhir ini kerap datang. Seperti kehilangan beberapa hal asyik yang kemudian tak lagi menarik. Entah itu saat membuka sosmed atau saat menonton televisi. Rasanya berbeda, seperti ada ruang hampa di dalam sana. Mencari sesuatu yang entah apa.
Mungkinkah aku hanya butuh piknik?
Rasanya jenuh, saat mengutak-atik handphone tetapi tak ada hal menarik di sana. Pun saat membuka sosmed, lebih-lebih lagi saat menonton berita di televisi. Berkali-kali aku harus mengurut dada dan menghempas nafas dengan berat. Kejenuhanku mungkin hampir mencapai titik puncak saat segala sesuatu terasa berat dan berjalan dengan sangat lambat.
Ada perasaan yang sulit diterjemahkan. Aku sendiri tak tahu ini sejenis apa. Apa hanya masa transisi sementara atau mood yang memang tidak bersahabat.
Tetapi katanya, saat seseorang memasuki fase baru di dalam dirinya. Sebutlah itu pendewasaan diri. Maka akan ada banyak hal yang terasa berbeda. Sebab baik cara berpikir maupun sudut pandang kita dalam menilai sesuatu, mulai tak sama dari sebelumnya.
Bisa saja yang tadinya kita anggap asyik tiba-tiba tak lagi menarik. Beberapa hal yang tadinya mungkin pernah kita abaikan, tiba-tiba menjadi begitu penting.
Fase itukah yang saat ini tengah aku rasakan? Ada banyak hal memang yang menjadi tak sesuai. Otakku bahkan berpikir lebih banyak. Banyak hal yang aku urai sendiri di sana. Mencari jalan keluar, pembenaran, solusi, apapun itu untuk semua yang kuhadapi akhir-akhir ini.
Entahlah.
Hanya terasa suntuk. Tak bersemangat. Jenuh sekali.
Semua yang tadinya serupa hiburan di sela-sela kesibukan rumah tangga, menjadi sesuatu yang asing. Tak lagi memiliki kesenangan tersendiri.
Baik itu saat membuka sosial media dan ketika menonton televisi yang hanya berisi pemberitaan pelik yang membuatku merutuk seorang diri.
Tentang anak yang memukuli bapak kandungnya hanya karena tak bisa membelikan apa yang ia inginkan, hingga sang bapak bersimbah darah di pinggir jalan.
Tentang mahasiswi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, yang katanya terpaksa membuang bayinya ke tong sampah tak jauh dari tempat kostnya. Karena tak ingin ada orang yang mengetahui hasil dari hubungan gelapnya.
Tentang seorang anak yang harus mengalami kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Menambah daftar Angeline atau anak-anak lain yang mungkin namanya tak muncul ke permukaan. Lagi-lagi tentang kekerasan pada anak.
Tentang bapak yang menghamili anak kandungnya.
Tentang bayi yang harus mati membeku di dalam freezer selama tiga bulan, sebab emosi labil ibunya yang hanya berstatus istri dari pernikahan siri.
Tentang seorang pekerja reparasi alat eletronik yang mati dibakar, setelah dihajar massa sebab dikira mencuri dari mushola.
Tentang pelajar Sekolah Dasar di Sukabumi yang meregang nyawa usai berkelahi dengan temannya.
Tentang narkoba jenis sabu-sabu berjumlah 1 ton yang masuk ke Indonesia.
Tentang... ada banyak lagi.
Semua pemberitaan yang sama sekali tak memberikan rasa lega di dalam hati. Agaknya semua persoalan di atas karena moral yang kian tipis terkikis. Dari yang tadinya adalah korban berubah menjadi tersangka, saat masalah yang dihadapinya seperti tak memberi jalan keluar lain. Kejahatan yang terpaksa dilakukan karena tekanan keadaan.
Ada berapa banyak orang di luar sana yang harus kehilangan hidupnya hanya karena keegoisan dan kebodohan orang lain. Ada berapa banyak orang di luar sana yang pada akhirnya hidup dengan sisa penyesalan. Ada berapa banyak orang yang kemudian hanya bisa menanggung malu atau terkena imbas malu di sepanjang hidupnya.
Rasanya egois jika aku akan mengabaikan ini.
Dan teringat isi tausiyah murabbi saat pertemuan liqo' senin lalu. Katanya ulang tahun kemerdekaan sudah di depan mata. Tetapi layakkah kita berteriak merdeka saat masih ada banyak sekali anak bangsa yang terbelenggu di balik kata merdeka itu?
Tak malukah kita berteriak merdeka? Jika kesenjangan moral seperti kasus-kasus di atas terus saja mewarnai sejarah negeri ini di hari demi hari.
Tak malukah kita hanya bisa mengupdate status untuk ucapan 'Dirgahayu Kemerdekaan RI yang ke sekian..' tetapi di dunia nyata belum juga berbuat apa-apa untuk negeri. Belum menjadi berarti, minimal untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar.
Masih bisakah kita berteriak merdeka, jika hati masih tertutup untuk melihat penderitaan orang lain? Jika telinga masih tuli untuk mendengar keluh dari masyarakat yang hidupnya tertindas ketidak-adilan dalam bentuk apapun. Saat mata juga buta untuk menilik puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang yang harus menjadi penjahat karena himpitan hidup yang ia hadapi.
Sedang tak satu pun dari mereka yang sering berteriak 'merdeka' itu, hendak mengulurkan tangan apalagi bantuan.
Sedang tak satu pun dari mereka yang sering berteriak 'merdeka' itu, hendak mengulurkan tangan apalagi bantuan.
Berapa banyak orang di luar sana yang tadinya baik terpaksa jadi penjahat. Berapa banyak orang yang tadinya korban kemudian harus jadi tersangka untuk mempertanggungjawabkan tindakan buruk yang ia ambil, tak peduli atas dasar apa.
Jika boleh aku bertanya, siapakah yang 'benar-benar' bersalah sebenarnya? Siapakah yang bertanggung jawab di baliknya? Siapa yang tadinya enggan menolong? Siapa yang lebih memilih menutup mata dan telinga dari kenyataan yang ada di sekitarnya?
Mirisnya, mereka pula yang kemudian menjadi bagian di antara orang-orang yang hanya senang menghakimi. Menjudge buruk perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan orang lain tetapi sebelumnya tak berbuat apa-apa, minimal untuk mencegah hal itu terjadi.
Parahnya, mereka yang setiap saat berteriak merdeka.. tetapi abai pada saudaranya sendiri. Lantas merdeka dalam arti apa yang senantiasa ia kumandangkan itu?
Atau mereka hanya latah untuk ikut berseru, tetapi tak mengerti merdeka seperti apa yang pantas diteriakkan dari relung hati terdalam. Dan bukanlah sekedar kata-kata belaka.
Sebab merdeka seharusnya melahirkan solusi bagi setiap problematika anak bangsa, bukan justru caci dan benci. Merdeka seharusnya menumbuhkan kesejahteraan untuk setiap orang, bukan justru berjalan menuju kehancuran. Merdeka seharusnya damai walau berbeda, bukan justru terpecah belah.
Mari berpikir sejenak, sungguhkah kita semua telah merdeka?
Oleh : Ahmad SastraNegeri ini masih dicekik ribuan triliun hutang berbunga haram
Jika negeri ini telah mampu melunasi hutang itu
Silahkan teriak merdeka!
Jika belum mampu, lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Banyak anak negeri yang hanya jadi babu di negeri orang
Mereka, seringkali disiksa dan dianiaya
Jika negeri ini belum mampu memulangkan mereka
Memberi pekerjaan layak dan mensejahterakan
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Negeri katulistiwa ini dihampari kekayaan alam yang luar biasa
Namun dikelola oleh orang lain
Rakyat hampir tak menikmatinya
Jika kekayaan alam ini belum bisa dikuasai negara
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas
Terasa berat untuk bisa hidup layak
Bahkan harga-harga terus merangkak naik
Ditambah pajak yang kian mencekik
Jika masih meluas kemiskinan
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Anak negeri tengah terjerembab watak amoral
Narkoba meraja lela
Seks bebas liar menyasar siapa saja
Pornoaksi dan pornografi makin menggila
Jika anak bangsa masih amoral
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Demokrasi korporasi mencengkram negeri ini
Keuangan yang maha kuasa
Korupsi menjadi budaya
Kolusi makin menganga
Kerugian uang rakyat tak terkira
Jika perilaku ini masih mewarnai bangsa
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Luas negeri ini dipenuhi potensi sumber daya
Namun garam masih impor
Namun singkong masih impor
Jika negeri ini belum mandiri
Memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Luas negara ini jutaan hektar
Namun lebih dari setengah dikuasai asing
Hingga rakyat tak lagi punya lahan luas
Berdesak-desakan di tanah yang sempit
Jika tanah negara belum mampu direbut kembali
Jangan teriak merdeka !!
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Malu kita
Malu kita
Tak berdaya
Tak kuasa
Lumpuh di ketiak penjajah
Malu kita
~ Self Reminder, Puisi Berjudul : "Jangan Teriak Merdeka : Malu Kita" ~
Magelang, 09 Agustus
Copyright @bianglalahijrah_
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)