Idul Adha & Kisah Pasutri Muda (pengalaman saat awal menikah) :D
Selamat siang sahabat! Selamat merayakan hari raya Idul Adha dengan penuh suka cita. Hemm, sayangnya lebaran Id Adha kali ini harus kami lewati di tempat baru. Biasanya kan masih di rumah mertua. Mirisnya lagi karena sejak kumandang takbir bergema dari maghrib kemarin, kerinduan akan suasana dan masakan khas lebaran di kampung halaman kian membuncah hebat. Usai shalat maghrib di mushala rumah bersama sang suami, kami sengaja tak melanjutkan janji sebelumnya untuk menonton film In Time. Sambil menunggu waktu isya' datang, banyak hal yang kami jadikan topik pembicaraan. Semata-mata untuk mengusir rasa sepi dan kerinduan yang bercokol di hati. Barangkali suami bersikap biasa saja, karena lebaran Idul Adha di sini memang tak ada perayaan seramai lebaran di kampung halamanku. Paling cuma shalat Id dan menyantap menu sendiri di rumah masing-masing. Semua terasa berbeda. Bahkan saat tahun pertama lebaran di sini, aku sempat kaget dengan tradisi dan cara berlebaran yang sangat berbeda dengan suasana di kampung halaman. Aku yang memang sejak kecil terbiasa dengan masakan khas bugis, tentu saja menjadi dilema tersendiri setiap malam lebaran. Sampai aku harus bergumam di depan suami, 'Andai pintu ajaib Doraemon benar-benar ada ya, Mas? Rasanya pengen pulang sehari tiap hari raya pertama..'
Sudah mau tiga tahun di tanah Jawa tapi lidahku memang tak selalu bisa bersahabat dengan menu di sini. Aku berpikir bahwa bukan hanya dari segi bumbu, penyajian, meraciknya saja yang berbeda, melainkan juga cara memasaknya. Padahal di mana-mana mungkin sama. Tetapi tetap saja berbeda menurutku. Ada keunikan tersendiri pada masakan khas bugis di hari raya. Selain langka' dan burasa'nya orang Bugis yang selalu bikin rindu mengkumat, tapi juga opor ayam dan beberapa menu yang memang tak kudapati di tempat lain kecuali pada keluargaku sendiri. Ya, sepertinya sudah jadi resep pribadi keluarga secara turun temurun dalam keluarga kami. Andai dekat, ingin sekali pulang ke sana. Karena jelas, di sana orang-orang pasti tengah menyantap hidangan enak khas lebaran dan saling mengunjungi seperti tradisi pada hari raya Idul Fitri.
Jadi apa yang kulakukan saat rindu bercokol kuat sedang kuliner di Jawa tak menyediakan masakan yang aku inginkan? Satu-satunya jalan, belanja sendiri ke pasar tradisional atau pesan ke tukang sayur keliling. Selanjutnya? Meracik sendiri, memasak sendiri, dan makan dengan nikmat sendiri. Hihi.. tapi ini justru yang membuatku mahir memasak sekarang. Karena barangkali memasak adalah perkara wajib setelah menikah. Ini menuntutku untuk wajib pintar memasak berbagai macam menu, terutama yang jadi kesukaan suami. Beruntung karena suami tak pernah komplain, karena sejauh ini.. menurutnya masakanku enak dan cocok di lidahnya. Padahal selera kami jelas beda. Ia suka masakan yang manis, sedang aku lebih suka asin dan suka enek sendiri kalau masakan itu terlalu manis karena campuran gula. Bagaimana cara mensiasatinya? Kami sama-sama belajar. Aku belajar untuk bersahabat dengan selera suami, dan suami mencoba untuk akrab dengan selera lidahku. Lidahku kan lidah asin, meski suami bilang sudah asin terkadang bagiku masih kurang. Jadi mau tak mau aku harus belajar mengurangi porsi asin yang mentok di lidahku. Dannnn... Setelah dua tahun lebih menikah, kami tak lagi menemukan selera yang bentrok satu sama lain. Suami sudah terbiasa dengan selera asinku, dan aku sudah terbiasa dengan selera manisnya. Terkadang masak pun harus menyediakan lebih dari satu menu. Menu yang sama-sama kami suka. Adakalanya suami membantuku di dapur dengan jabatan 'asisten koki' yang bertugas untuk mencicip rasa masakanku agar sesuai dengan lidahnya. Karena kalau ikut lidahku, jangan tanya... karena sudah kujelaskan kan? Hihihi... ASIN!!!
Hemm, pernikahan dua orang yang berasal dari latar belakang berbeda memang hal yang sangat menarik untuk kami. Ini semacam tantangan, bagaimana agar perbedaan yang timbul karena didikan dan budaya yang berbeda bisa menyatu di bawah satu atap bernama rumah tangga. Suami orang Jawa tulen, sedang aku Bugis... dua suku, dua tradisi, dua budaya, dua kebiasaan, dua karakter, dua kehidupan yang sebelumnya berbeda harus kami satukan melalui ikatan pernikahan. Apalagi aku yang sebelumnya lama menetap di Riau, tentu sedikit banyak mempengaruhi sikap dan cara berbicaraku. Awal nikah ngerasa aneh, di sini bahasa hariannya pakai bahasa jawa. Lah yang kutahu cuma 'enggeh' dan 'mboten', mau tak mau yang pertama kali kuhadapi adalah ketidak mengertian atas apa yang orang-orang sekitarku bicarakan. Naasnya karena aku harus memasang wajah memelas dan bilang.. 'Maaf, saya mboten terlalu bisa bicara jawa. Bisa ngomong pakai bahasa Indonesia saja?'
Tahu apa yang aku dapatkan setelah itu.. mereka justru mentertawaiku yang saat itu tengah menyimpan dongkol di dalam hati. Sampai akhirnya ada yang menyarankan agar aku belajar untuk fasih berbahasa jawa. Mulailah privat dalam kehidupan sehari-hari menghiasi hariku sebagai istri dari Abang/Mas yang berdarah Jawa. Hahaha, semua berbeda. Intinya benar-benar berbeda! Tetapi alhamdulillah berkat ilmu adaptasi dan kemauan untuk terus belajar, lambat laun aku justru mulai terbiasa dengan budaya dan kebiasaan orang jawa. Sambil berdecak kagum di dalam hati, 'kulo sampun saget ngendiko jawi loh.'
Pok! Pok! Pok! Nggak ada yang tepuk tangan ya?!! Hehe...
Ya sudah postingannya sudah lumayan panjang, sampai berjumpa lagi ya!! Wassalamu'alaikum. :)
* (kuharap nggak ada yang nertawain postingan ini) ^_^
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)