True_Story: Hijab yang Mengembalikan Fitrahku
"Aku sempat merasa iri, bagaimana bisa mereka begitu istiqomah di tengah hirup-pikuk dunia pergaulan yang bebas dan tanpa batas?"
Lagi-lagi berhadapan dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang berbeda denganku. Aku memang tak sempurna. Aku juga tak baik. Aku tak memiliki kelebihan banyak dengan adanya kekurangan diri yang tak pernah bisa lepas. Aku tak cukup pintar untuk bisa mengetahui segalanya. Aku tak cukup mampu untuk mengerjakan semuanya sekaligus. Tetapi tahukah yang membuatku merasa yakin dan optimis bisa? Sebab aku ingin berusaha, belajar untuk terus lebih baik. Bertahap dalam menyempurnakan apa yang sudah kuyakini selama ini. Bertahap dalam mempertahankan apa yang sudah kujaga selama ini. Bertahap dalam melindungi apa yang selama ini aku rawat. Bertahap. Ya semua kulakukan dengan bertahap.
Jika dulu aku yang tak menutup aurat tiba-tiba menutup aurat, menurutku bukanlah hal mustahil, sebab aku seorang muslimah. Bukankah sudah merupakan kewajiban seorang muslimah untuk menutup auratnya? Jika kemudian aku pernah melakukan kesalahan dengan melepas hijab yang pernah kukenakan, maka saat aku kembali mengenakannya itu juga bukan hal yang mustahil. Bukankah sejauh-jauh langkah seorang hamba yang terperosok di jurang kejahiliyahan, ia tetap akan kembali kepada Rabb yang menciptakannya? Maka aku adalah salah satu dari hamba itu, hamba yang berusaha untuk kembali meniti jalan cinta Rabb-nya. Hamba yang berusaha untuk meraih kembali keridhoan Rabb-nya. Hamba yang berusaha untuk mendapatkan cahaya cinta Rabb-nya. Hamba yang senantiasa ingin mengenal Rabb-nya lebih baik. Ini tentangku, bukan tentang sesiapa. Tiba-tiba aku ingin bercerita mengenai proses hingga aku mantap mengenakan pakaian yang menutup auratku dengan baik. Mantap untuk terus mendalami agamaku yang suci. Mantap untuk senantiasa taat pada titah Rabb-ku.
Aku belajar mengenakan kerudung saat duduk di bangku kelas 6 SD. Awalnya memang lucu, sebab di rumah dan hendak bepergian, aku mengenakan kerudung dengan baju beserta rok panjang. Padahal saat ke sekolah aku sama sekali tak mengenakan kerudung dan berganti dengan rok merah selutut. Setelah lulus, aku dan ibu sibuk diskusi mengenai sekolah menengah pertama yang akan aku masuki. Saat ibu dan yang lainnya menyuruhku untuk mendaftar ke SMP, aku menolak halus. Aku katakan pada ibu dengan beberapa pertimbangan agar aku dimasukkan ke Madrasah Tsanawiyah dekat rumah. Awalnya hampir semua keluarga dari pihak ibu menentang dengan beberapa alasan yang tak penting menurutku. Aku terus mendesak ibu hingga beliau mengizinkan. Aku mendaftar sendiri ke madrasah saat yang lainnya ditemani oleh orangtua mereka. Aku tak peduli dan berkecil hati, yang kupikirkan aku bisa diterima di madrasah tsanawiyah tersebut. Ibu dan bapak enggan menerima kritikan dan provokator dari yang lainnya, jadi mereka berpura-pura seolah-olah tak mendukungku. Walau saat itu, bapak hampir saja terhasut dan melarangku sekolah.
Satu tahun pertama duduk di sekolah madrasah yang mengharuskan untuk berpakaian tertutup dan berkerudung, aku masih kesulitan untuk beradaptasi dengan apa yang aku kenakan. Saat ke sekolah aku menutup aurat dengan baik, saat di rumah dan hendak bepergian, aku masih santai melenggak dengan kaus oblong di atas lengan dan jeans pendek selutut. Berbalik dari ceritaku sewaktu di kelas 6 SD. Penampakan itu terus berlangsung sampai aku bertemu dengan Kak Andi Nurlela yang mengajakku untuk ikut kholiqo'. Liqo' yang kerap mereka adakan seminggu sekali bersama akhwat-akhwat lain yang baru kukenal begitu bergabung dengan kegiatan mereka. Hal yang waktu itu aku anggap asing dan masih aneh.
Saat pertama kali bergabung aku hanya mengenakan penutup aurat sekenanya, sementara yang lain begitu tertutup. Lautan jilbab panjang berderet rapi dari para muslimah yang duduk di dekatku. Aku memandangi diriku yang aneh sendiri. Mereka lebih terlihat anggun dan syar'I ketimbang aku. Walau minder tetapi tak menyurutkan niatku untuk tak datang lagi di pertemuan selanjutnya. Minggu selanjutnya aku bergabung lagi, kali ini sedikit kubenahi pakaian yang kukenakan. Aku mengenakan rok dan kerudung yang sengaja kubiarkan menjuntai. Aku sempat merasa iri, bagaimana bisa mereka begitu istiqomah di tengah hirup-pikuk dunia pergaulan yang bebas dan tanpa batas?
Aku semakin larut dan mantap mengenal mereka. Baterai imanku seolah senantiasa ter-charger penuh saat ada di antara mereka. Aku bahkan menyicil uang untuk membeli rok dan kerudung panjang untuk menambah koleksiku. Awalnya masih berjalan mudah, selanjutnya mulai datang kendala dari keluarga ibu dan beberapa tetangga. Mereka menduga bahwa aku bergabung dengan orang-orang fanatik yang tak wajar di dalam Islam. Ada yang nyeletuk bahwa aku hanya sok alim, terlalu serius untuk mendalami agama. Bahkan nenekku pun menentang. Aku bingung sekaligus sedih. Aku kerap menangis karena merasa mulai mengenali Tuhanku tak seperti sebelumnya, saat aku hanya mengaku-aku bahwa Tuhanku Allah, dan Rasulku Muhammad, tetapi aqidah dan akhlakku masih jauh dari kata pembuktian yang aku hafalkan di rukun iman. Aku menyesal saat tak ada satu pun yang mengerti niatku untuk bisa lebih dekat dengan-Nya, untuk bisa lebih memahami agama yang aku yakini. Agama yang menjadikanku muslimah sejak aku lahir hingga detik ini.
Aku semakin larut dan mantap mengenal mereka. Baterai imanku seolah senantiasa ter-charger penuh saat ada di antara mereka. Aku bahkan menyicil uang untuk membeli rok dan kerudung panjang untuk menambah koleksiku. Awalnya masih berjalan mudah, selanjutnya mulai datang kendala dari keluarga ibu dan beberapa tetangga. Mereka menduga bahwa aku bergabung dengan orang-orang fanatik yang tak wajar di dalam Islam. Ada yang nyeletuk bahwa aku hanya sok alim, terlalu serius untuk mendalami agama. Bahkan nenekku pun menentang. Aku bingung sekaligus sedih. Aku kerap menangis karena merasa mulai mengenali Tuhanku tak seperti sebelumnya, saat aku hanya mengaku-aku bahwa Tuhanku Allah, dan Rasulku Muhammad, tetapi aqidah dan akhlakku masih jauh dari kata pembuktian yang aku hafalkan di rukun iman. Aku menyesal saat tak ada satu pun yang mengerti niatku untuk bisa lebih dekat dengan-Nya, untuk bisa lebih memahami agama yang aku yakini. Agama yang menjadikanku muslimah sejak aku lahir hingga detik ini.
***
"Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Saat langkah kian mantap untuk mengenaliNya lebih baik. Ujian bertubi-tubi itu datang.. Menguji sekuat apa iman dan keyakinanku..."
Sepanjang mengenakan hijab, ada banyak kendala yang pernah kuhadapi. Bahkan ada banyak pula kesalahan yang aku sertakan di dalamnya. Aku pernah melepas kerudung yang aku kenakan dengan baik. Selama tujuh bulan aku menjadi muslimah yang terlunta-lunta bersama perang bathin yang menyiksa. Entah apa yang membuatku sedemikian bodoh waktu itu.
Namun... Allah ternyata masih sayang padaku, Ia mengirim orang-orang yang peduli padaku. Pertama melalui Kak Mustafa, seorang ikhwan yang waktu itu dekat denganku. Kak Mustafa memintaku untuk kembali mengenakan kerudung yang sudah aku kenakan dengan apik. Ia menyayangkan keputusanku yang sangat bodoh. Ia marah saat aku keras kepala dan enggan mendengar masukannya. Berbulan-bulan aku menikmati perang bathin yang sungguh menyiksa. Aku malas menatap wajah muslimah yang membuatku iri. Sebab aku merasa tak lagi menjadi bagian dari mereka. Aku mulai malas belajar, membaca buku, dan semua rutinitas sahirul ilmi yang kerap mengurangi jam tidurku. Aku enggan mengenal Tuhanku lagi. Aku menjauh. Aku benci saat Allah memberiku ujian bertubi-tubi sewaktu aku tengah berjalan menuju-Nya. Orangtuaku bercerai, pendidikanku terancam putus, adik-adik yang terabaikan, keluarga yang hanya menambah rasa sakit di hatiku. Tertekan dengan semua keadaan itu, aku kufur sebab futur yang tak sewajarnya.
Aku terlalu angkuh dengan mempertahankan bukti pemberontakanku terhadapNya. Di waktu lain aku menangis mengingat nasihat dari Kak Mustafa, aku sadar bahwa pilihanku menjauhi Tuhanku adalah pilihan yang salah. Dalam sakit dan ego yang menganggap takdirNya tak adil, aku memupuk kembali rasa percaya pada Rabb-ku. Aku kembali mengerjakan shalat. Ada rasa rindu yang membuncah pada buku-bukuku. Aku kembali mengenakan kerudung kebanggaan. Aku menangis dalam sujud taubatku, setelah berbulan-bulan memerangi keyakinan dan membuat aniaya pada diriku sendiri.
Dan... Aku kembali kepada Rabb yang tak pernah meninggalkanku. Ia memujukku dengan caraNya mengirim orang-orang agar aku kembali ke jalanNya. Agar aku tak ingkar dan lalai pada kewajibanku sebagai seorang muslimah. Aku kembali. Ya, aku kembali. Malam itu aku sujud, setelah tersedu-sedu di hadapan Kak Wati kakak sepupuku yang menampar kesadaranku bertubi-tubi dengan nasihat halusnya. Kak Wati dan Kak Mustafa menyadarkanku. Aku kembali. Berkat mereka, berkat kasih sayang Rabb-ku. Aku tersungkur dalam tangis panjangku malam itu.
***
2011, saat langkahku benar-benar mantap di tanah perantauan. Saat aku mulai istiqomah mengenakan hijab di kehidupan sehari-hari. Ujian lagi-lagi datang. Allah mengujiku untuk membuktikan seberapa besar cinta dan taatku padaNya.
***
Bersambung di post selanjutnya ya.. ^_^
2 Komentar
Ya Allah ceritanya sama persis.. ak juga sempet seperti itu kemudian kembali lagi kepada Allah.. semoga kita istiqomah ya ukhti... 😄
BalasHapusAamiin2, ukh. Syukran :)
HapusAssalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)